Lain Ladang Lain Ilalang

Dakota-Johnson-50-sac-thai-5-tgvh

Di Amerika Serikat, Kanada dan banyak negara Uni Eropa, ada satu judul film yang menempati peringkat ketiga terlaris hingga pertengahan tahun 2015 ini. Film itu adalah Fifty Shades of Grey (2015). Di seluruh dunia, film ini sudah membukukan “box office” sebesar US$ 569,502,594 atau kira-kira setara Rp 5 T! Ini dahsyat karena biaya produksinya “hanya” US$ 40 juta atau kira kira Rp 400 milyar saja.

Penerimaan pasar penonton film ini agak di luar dugaan banyak pihak. Mengingat film ini mengalami pelarangan dan penentangan di banyak tempat. Di negara kita, film ini tidak boleh tayang sama sekali di bioskop. Film ini juga dilarang di beberapa negara lain seperti Malaysia, Uni Emirat Arab, Kenya, India, Papua Nugini, dan Kamboja. Bahkan di negara-negara yang tidak melarang film ini sekali pun, terdapat reaksi penentangan yang keras.

Reaksi terutama muncul dari golongan agamawan dan religius. Tetapi juga di sisi lain mereka yang menganggap dirinya memperjuangkan hak-hak perempuan. Walau anehnya, organisasi feminisme tidak ada yang menentang penayangan film ini.

Alasannya sederhana, film ini menonjolkan adegan sensualitas dan seksualitas yang kental. Bagi banyak orang, itu dianggap pornografi. Sementara bagi industri perfilman, film ini masuk kategori erotika. Bahkan, X satu saja tidak. Karena itulah film ini dibesut oleh “Hollywood” dan juga diedarkan melalui jaringan distribusi “Universal Pictures” yang mendunia.

Reaksi ini mirip dengan yang diterima film The Wolf of Wall Street (2013) yang dibintangi oleh Leonardo Di Caprio serta disutradarai Martin Scorsese. Padahal, film ini sama sekali bukan masuk genre erotika. Karena berasal dari kisah nyata seorang pialang saham New York bernama Jordan Belfort. Dalam pengkategorian film di Amerika Serikat, film ini digolongkan sebagai “black comedy” atau “satir”. Di Indonesia, model begini antara lain diusung oleh Comic 8 (2014). Ini adalah komedi cerdas yang menggunakan kekuatan dialog atau situasi untuk menyindir atau sekedar memotret kondisi masyarakat atau negara. Ia dihargai lebih tinggi daripada “slapstick comedy” yang di negara kita banyak dibuat filmnya, yang paling terkenal adalah rangkaian film “Warkop DKI” pada dekade 1980-an.

Situasi itu menunjukkan, pepatah “lain ladang lain ilalang” benar adanya. Setiap tempat punya masyarakat berbeda, yang berbeda pula cara pandang, kehidupan, pola pikir dan reaksi terhadap suatu hal. Semua itu dipengaruhi banyak faktor seperti agama, budaya, sejarah, hingga adat-kebiasaan. Maka, menghadapi hal itu, eloklah bila diterapkan pepatah lain “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Bila kita berada di “negeri orang”, janganlah memaksakan standard an pandangan kita. Bisa-bisa kita malah melanggar hukum, sehingga benar-benar bak “hujan batu di negeri orang”.

Catatan: Resensi film bisa dibaca di http://resensi-film.com (tinggal klik saja tautan di samping).

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s