
Nick Howes Komet Lovejoy dipotret oleh Nick Howes dari Tzec Muan Network, Siding Spring, Australia – Kompas.com
Secara harfiah, arti “lovejoy” adalah “mencintai kebahagiaan”. Atau, bila Anda punya pacar atau istri bernama “Joy”, akan tampak lebih spesifik lagi. Hehehe…
Tapi saya tidak hendak membicarakan “Joy” yang manusia. Walau Lovejoy dinamai menurut nama manusia yang menemukannya yaitu Lovejoy.
OK. Daripada bingung, ini adalah nama komet yang berkode C/2014 Q2. Seperti tradisi di dunia astronomi, nama benda langit baru bisa dinamai sesuai nama penemunya. Dalam hal ini, komet tersebut ditemukan oleh Terry Lovejoy, pada 17 Agustus 2014 dengan bantuan teleskop 0,2 meter Schmidt–Cassegrain. Diberitakan komet ini akan melintas di orbit Bumi dan dapat dilihat dari wilayah Indonesia pada 11-16 Janauri 2015. Posisinya agak di Utara dekat Rasi Taurus yang tampak di awal malam sebagai sebentuk garis dengan ujung terang berwarna hijau.

Muhammad Rayhan Komet Lovejoy diabadikan dari Planetarium Jakarta pada Rbu (7/1/2015) lalu. Nikon D5100, AF Nikkor 70-300mm f/4-5.6G, Vixen Polarie. 16x30sec, ISO 500, 300mm f/5.6. Darks, Flat, Bias applied in DSS, LR & PS6. (Foto: M. Rayhan/Kompas.com)
Tetapi di Jakarta yang berlangit suram karena polusi udara dan cahaya, agak sulit mendapati bentuk komet yang ideal. Penampakan komet yang bisa dipotret dari langit Jakarta adalah seperti ditampilkan di sini. Penampakan ini bisa memberi panduan bagi penggemar astronomi atau mereka yang sekedar ingin tahu untuk bisa membedakan komet Lovejoy dari benda-benda langit lainnya. Karena berada di langit Utara, maka bisa jadi ia akan bersaing dengan Polaris dari segi kecerlangan. Meskipun magnitudo cahayanya 6, tetapi karena ia bukan benda langit yang stasioner di orbitnya, relatif lebih sulit dilihat daripada bulan atau bintang. Fenomena ini menarik ditunggu karena secara teoretis, baru 8.000 tahun lagi komet ini akan kembali melintasi orbit Bumi.
Di zaman dahulu, komet seringkali dianggap pertanda. Ada yang menganggap pertanda baik, tapi budaya kuno justru menganggapnya pertanda buruk. Apalagi komet besar seperti Halley yang dekat dengan orbit Bumi memang bisa membawa perubahan iklim dan cuaca. Sehingga akibatnya terjadi kegagalan panen misalnya. Ini membuat masyarakat kuno membuat mitologi komet sebagai sebentuk amarah dewa.
Di masa modern ini, tentu manusia tak takut lagi pada komet. Meskipun amat jarang, ia cuma dianggap sebagai fenomena langit biasa. Tidak lebih. Kalau pun ada yang tertarik mempelajari lebih jauh, tentulah para astronom dan ahli perbintangan.
Saya sewaktu kecil ingat pernah ‘memburu’ komet Halley bersama orangtua hingga ke Bogor. Saya juga seringkali nongkrong di genteng untuk melihat langit. Bahkan, saya pernah bercita-cita menjadi astronom sewaktu SMP, tetapi dihalangi orangtua karena dianggap tidak berprospek. Maka, meskipun sudah membeli banyak buku tentang perbintangan termasuk buku kuliah astronomi, saya toh akhirnya tidak jadi astronom.
Melihat bintang selalu menarik, karena setinggi apa pun teknologi kita saat ini, manusia belum mampu mencapainya. Perjalanan antar-bintang masih sebatas wacana di atas kertas dan khayalan di film serta buku. Manusia belum mampu memiliki teknologi terutama bahan bakar dan juga material untuk melakukannnya.
Saya pribadi tidak yakin akankah hal itu tercapai suatu saat kelak. Sehingga manusia bisa menjelajahi bahkan mengkolonisasi angkasa luas sepert di film Star Wars atau Star Trek. Namun bila saat itu tiba, semoga akan membawa kemajuan bagi umat manusia, bukan kehancuran.