Sejak kecil, saya memegang prinsip “Katakan kebenaran walaupun itu pahit”. Tetapi saat dewasa, saya sadar bahwa ini tidak selalu benar. Alasannya terutama karena kebenaran ternyata punya versi. Apa yang kita rasa benar belum tentu begitu menurut orang lain. Contoh paling utama adalah orangtua saya. Mereka berdua adalah orang paling negatif yang pernah saya kenal. Maaf maaf saja, hidup saya seringkali dijegal oleh mereka dengan keyakinan palsu mereka.
Contoh sederhana adalah mengenai medis. Ilmu kedokteran yang berusia ribuan tahun, dengan peralatan canggih, dokter berilmu tinggi, didukung penelitian ratusan tahun terhadap jutaan orang, bisa ditepis dengan kalimat semacam, “Ah, teman Ibu tidak begitu” atau “Kok Bapak nggak merasakan seperti itu ya?” Buktinya, Ibu saya yang sebenarnya tidak sakit parah menolak sembuh, padahal sudah diobati dengan pengobatan medis terbaik yang ada di Indonesia. Uang yang habis sudah ratusan juta tapi tetap nol besar hasilnya.
Itu karena beliau yakin, dirinya sendirilah yang benar, bukan para dokter. Kalau bahasa Jawanya adalah “rumongso bener dewe” alias “merasa paling benar sendiri”.
Terus-terang, saya sangat frustrasi menghadapi mereka. Apalagi saya adalah anak tunggal yang benar-benar sendirian.
Dalam konteks pergaulan dengan orang lain pun sama saja. Mereka kerapkali tidak mau diberitahu apabila keliru. Padahal, “lips service”-nya indah: “Tolong beritahu saya kalau saya salah, ingatkan saya kalau keliru”. Tapi saat saya melakukan itu dengan santun, tidak dianggap. Dan saat saya melakukan dengan keras, mereka balik marah dan memusuhi. Tahun 2014 ini, saya mengalami hal itu dengan beberapa orang. Dua orang saya begitu marah dan tersinggung hingga terpaksa memutuskan tali silaturahmi. Betapa tidak, satu orang telah menghina harga diri saya begitu rupa. Satu orang lagi bukan saja menghina, tetapi membuat saya rugi ratusan juta rupiah.
Dalam hal ini, akhirnya saya sadar, bahwa diam atau munafik ternyata lebih baik daripada kebenaran. Ini kasuistis. Bila kita melihat ada kesalahan atau kekurangan pada diri orang lain, pertimbangkan baik-baik apakah akan memberitahukan kebenaran itu. Apabila tidak mengganggu terutama dalam konteks kinerja, biarkan saja. Tetapi apabila kita terpaksa harus menyampaikannya, maka bersiaplah dimusuhi dan kehilangan teman.
Maka, benarlah apa yang dikatakan filsuf Jerman Friedrich Nietzsche di atas:
“Terkadang orang tak ingin mendengar kebenaran karena tak ingin ilusi mereka hancur”.
Ilustrasi: evolveconsciousness.org