Dalam rangka “studi banding” terhadap situs dan blog milik perorangan yang dikelola secara amatir atau pribadi, saya menemukan salah satu situs yang fotonya saya unggah di atas. Tentu saja alamat situs lengkapnya saya samarkan. Tetapi Anda bisa melihat bagian akhir blog yang di-hosting di blog gratisan blogspot itu. Terdapat kata “cuakep” di sana. Ini makin menggelikan saat pemilik blog memajang fotonya sendiri di laman depan (front page) situs tersebut. Siapa pun yang melihatnya, tentu bakal berkomentar dalam hati, “Idih, siapa yang bilang elu cuakep? Emak lu aja kaliiiii…. atau… orang rabun…” Hehehe.
Maaf, maaf. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
Pasalnya, saya sendiri pernah jengkel saat ada orang yang menganggap saya “sok cakep”. Padahal, yang mengejek saya itu justru yang bisa dibilang cakep dan metropolis. Saya, sehari-hari tidak penah berdandan, tidak pernah ke salon, tetapi bukan berarti tidak rapi dan jadi tidak percaya diri. Itu saja, masih ada yang menganggap saya “sok cakep”. Padahal, jujur, saya tidak pernah merasa diri begitu. Apalagi sampai membuat “pengumuman” seperti pemilik situs tersebut.
Dalam kesempatan ini, saya hendak menyoroti penggunaan nama situs tersebut dari dua aspek, psikologi dan teknologi informasi. Meski tentu sesuai kapasitas blog ini sebagai jurnal, tidak bisa lengkap seperti naskah akademis yang ilmiah.
Apa yang terjadi dalam diri orang tersebut, secara kasat mata seorang psikolog bisa melihatnya sebagai proyeksi diri atas konsep diri. Meski terlihat percaya diri, jauh di dalam jiwanya justru kebalikannya. Apalagi, maaf, bila melihat kenyataannya, wajah yang bersangkutan tidaklah secuakep itu. Ini berarti, ia membentuk citra diri palsu. Sewaktu saya bekerja di Femina Group yang memiliki dua lomba model nasional yaitu Gadis Sampul dan Wajah Femina, seorang atasan saya yang menjadi juri sempat berkomentar terhadap foto yang dikirim. “Ini yang bilang dia cakep siapa ya?” katanya sambil menunjukkan foto yang siapa pun akan berpendapat orang itu “cuma mimpi” saja ingin menjadi model. Tetapi, bukan berarti orang dengan wajah biasa bahkan bisa dikategorikan “buruk rupa” tidak bisa terkenal atau menjadi entertainer. Lihat saja Tukul Arwana atau Mandra. Tetapi jelas mereka tidak bisa menjadi model yang punya standar “cakep” berbeda.
Dari segi teknologi informasi, nama situs seperti itu tidak memberikan petunjuk pada content atau isinya. Padahal, semua praktisi teknologi informasi tahu, content is the king. Artinya, nama situs sepeti itu sangat buruk secara SEO. Padahal, ironisnya yang bersangkutan justru menawarkan jasa SEO! Bisa jadi, itu cuma pernyataan diri yang bersangkutan saja.
Justru menyatakan diri sendiri sebagai “cuakep” menunjukkan bahwa orang lain tidak pernah mengatakan hal serupa. Ia krisis eksistensi, sampai perlu-perlunya memproklamirkan dirinya sebagai “cuakep”. Maka, jangan heran kalau komentar orang lain bernada sinis, “Iya deh… yang cuakep.”