Sakit Hati & Dendam

31525_20121108_195236_hurt_feelings_quotes_01

Terus-terang, dalam hidup, saya sering sekali dizalimi orang lain. Insya ALLAH itu justru jadi “tabungan amal” saya. Karena dalam keyakinan Islam, apabila kita menzalimi orang lain, maka pahala kita diberikan kepada yang terzalimi. Apabila itu masih juga kurang untuk menebusnya, maka dosa orang terzalimi diberikan kepada yang menzalimi. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri menjamin terkabulnya “do’a orang yang terzalimi”.

Keengganan orang Indonesia untuk mengakui kesalahan apalagi meminta maaf, membuat saya seringkali sakit hati mendalam. Pada akhirnya, semua itu menimbulkan dendam.

Sifat manusia memang berbeda. Saya sangat perasa. Untuk menguranginya, saya menjadi blak-blakan apabila tersinggung. Tapi seringnya, orang yang telah menyinggung saya bukannya merasa salah dan meminta maaf, tapi malah balik marah. Kalau dibawa bercanda, seolah ia malah berkata seperti Cinta yang berkata dalam film AADC (2002): “Terus, salah gue, salah temen-temen gue, gitu?”

Jadi, yang lebih sering saya menggunakan keahlian psikologi teknikal saya untuk meraba karakter manusia tiap kali bertemu orang baru. Apabila saya merasakan orang itu penting dan berharga, saya akan memberikannya rambu-rambu. Itu pun, seringkali masih dilanggar, seringkali justru secara tidak sengaja.

Sebagai manusia, saya punya toleransi. Hanya saja, karena saya sangat “otak kiri”, saya biasanya menghitung “pelanggaran” itu. Sampai empat kali, saya diamkan. Bila kelima kali, saya akan memperingatkannya. Bila sampai sepuluh kali, maka saya akan melabraknya tanpa ampun.

Tentu saya tahu skalanya. Sebagai orang yang sangat rasional, saya tentu tidak akan mengambil hati perkataan sambil lalu atau tindakan tidak sengaja. Tapi, belum tentu ucapan atau tindakan yang baru pertama kali dilakukan lantas menjadi sama.

Saya ambil contoh konkret dari suatu pengandaian kejadian fiktif. Sebutlah saya menerima satu penghargaan dari Presiden Indonesia. Lantas, dalam acara penganugerahan di Istana Negara, ada orang yang melempar saya dengan telur busuk dan meneriaki saya sebagai tidak pantas mendapatkan penghargaan itu. Tindakan itu jelas pertama kali terjadi, tapi apakah lantas kita maafkan? Tergantung.

Kalau menurut para motivator “abal-abal”, tentu akan menggeneralisasi penganjuran supaya kita memaafkan. Tapi para psikolog dan psikiater tahu bahwa tidak semudah itu “luka hati” bisa diobati.

Karena itu, justru bersikap asertif itulah yang paling tepat. Memberitahukan pada yang bersangkutan bahwa kita tersinggung dengan ucapan atau tindakannya. Apabila yang bersangkutan justru tak mau mengerti apalagi meminta maaf, cuma ada satu cara: tinggalkan dia. Hati dan hidup kita terlalu berharga cuma untuk disakiti olehnya.

 

Ilustrasi: searchquotes.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s