Hidup

human-life-wallpaper

Hidup ini adalah misteri. Bagi yang tidak percaya Tuhan atau adanya “life after life”, niscaya hidup ya cuma di sini ini. 60-70 tahun rata-rata usia manusia, kalau beruntung bisa lebih. Sementara usia Bumi sendiri sudah ribuan tahun menghuni alam semesta yang malah sudah jutaan tahun.

Sejak kecil, saya sudah mempertanyakan makna hidup. Uang yang dulu buat saya adalah hal penting, bahkan dijadikan alasan utama dua orang wanita pendamping saya untuk berkhianat dan pindah ke lain hati, kini jelas bukan lagi sebuah prioritas. Saya mulai memikirkan banyak hal lain. Apalagi dengan merambah dunia baru, berkelana ke tempat-tempat baru, membuat saya menanyakan apa yang sedari dulu sudah ditanyakan para filsuf.

Maka muncullah pertanyaan-pertanyaan seperti:

  • Siapakah aku?
  • Untuk apa aku hidup?
  • Mengapa aku di sini?
  • Apa makna hidup?
  • Bagaimana cara hidup yang terbaik?
  • Apakah tujuan akhir hidup?

Tentu saja, bagi sebagian besar orang pertanyaan itu bullshit.  Cuma buang-buang waktu belaka. Apalagi bagi para “fanatikus” radikal yang merasa agamanya paling benar dan keberagamaannya paling sahih. Mereka menganggap cara hidup mereka paling baik dan bagus. Karena itu, membaca buku 99 Cahaya di Langit Eropa (Jakarta: Gramedia, 2011) karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra setelah terlebih dahulu menonton filmnya membuat saya justru memberi pujian pada sikap penulisnya. Itulah seharusnya sikap seorang muslim yang baik. Yakin kepada kebenaran agama Islam dan berusaha melaksanakan semua ajaran Nabi Muhammad SAW tetapi tidak lantas ‘pamer’ apalagi memaksakannya kepada orang lain.

Sebenarnya, tanpa disadari oleh para “fanatikus” itu, semua agama juga berupaya menjawab pertanyaan itu. Bedanya, kalau agama pendekatannya dari “atas ke bawah” (top-down), filsafat dari “bawah ke atas” (bottom-up). Filsafat menganggap manusia mampu mendapatkan “pencerahan” dengan “akal-budi”-nya. Terbukti Renaissance dan Enlightenment yang menerangi peradaban manusia saat ini adalah hasil dari pengembangan filsafat sebagai “induk segala ilmu” selama ribuan tahun.

Makin sempit dunia kita, makin ceruk lingkungan pergaulan kita, makin rendah ilmu kita, biasanya akan makin fanatik. Merasa benar sendiri. Sementara yang sudah pernah menjelajah ke mana-mana, keluar dari tempurung, niscaya sebaliknya justru akan makin bijak. Ibarat ilmu padi, makin berisi makin menunduk. Seperti disinyalir oleh Aristoteles, makin banyak kita tahu, justru makin banyak kita tahu lebih banyak lagi yang tidak kita ketahui. Dan  orang paling bodoh menurutnya adalah yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

Hidup begitu luas menawarkan aneka pengalaman, Bumi sendiri terlalu besar untuk dijelajahi. Mengapa menutup diri dari segala kemungkinan dalam hidup? Begitu kita membebaskan diri dari tempurung, niscaya hidup akan merengkuh kita dengan suka-cita.

 

Ilustrasi: neetikarao.wordpress.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s