Apa yang paling sulit dari motivasi? Semua tahu: memotivasi diri sendiri.
Seringkali kita dengan ringannya memberikan nasehat kepada orang lain. Apalagi bagi yang “merasa berhak” menasehati. “Merasa berhak” di sini bisa berarti merasa diri punya pengalaman, lebih tua, atau lebih tinggi status sosialnya. Justru bagi yang benar-benar ahli seperti para coach, trainer, psikiater atau psikolog mereka justru lebih hati-hati dalam memberikan arahan. Kenapa? Karena dalam nasehat ada unsur penghakiman atau penilaian. Soal ini akan kita bahas lebih lanjut besok.
Saya baru saja membeli buku terbaru Profesor Rhenald Kasali, Ph.D. B. Judulnya pun ‘menantang’: Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? (Jakarta: Mizan, 2013). Seluruh isi buku itu merupakan dorongan bagi kita untuk memotivasi diri sendiri dari dalam. Ini selaras dengan ucapan Stephen R. Covey yang saya jadikan kutipan untuk fanpage saya di http://facebook.com/BhayuMahendraH di atas. Orang lain hanya berperan sebatas sebagai inspirasi. Karena selanjutnya justru kita sendirilah yang harus ‘membakar api’ itu dari dalam diri sendiri.
Dalam bukunya, Rhenald Kasali mendorong seseorang menjadi “driver” alih-alih “passenger”. Ini bukan berarti dalam sebuah organisasi lantas semua berebut jadi pemimpin. Melainkan lebih kepada diri sendiri. Ya. Kita adalah pengemudi untuk diri kita yang terdiri dari badan jasmaniah beserta perangkatnya seperti otak dan hati termasuk kepandaian dan ketrampilan. Selaras dengan yang selalu saya sampaikan di mana-mana, bahwa kita harus “mengenali diri sendiri” dulu untuk bisa menjadi “diri kita yang terbaik”.
Walau begitu, ada masa di mana kita memang harus mengorbankan sesuatu demi mencapai tujuan yang lebih besar. Contohnya kalau Anda baru saja lulus sekolah/kuliah dan orangtua Anda bukan orang berada, tentu harus mau rela bekerja dulu sekdar untuk menyambung hidup dan mendapatkan uang. Tidak bisa langsung mengejar passion seperti seringkali diutarakan para motivator.
Ada cerita yang saya anggap menarik untuk dikutip di sini dari buku Rhenald Kasali tersebut. Kisah ini pernah dimuat di koran harian Jawa Pos pada 7 Januari 2013. Rhenald sendiri mengatakan mengutipnya dari buku Wren’s World, dan di bukunya dicantumkan di halaman 158-159. Kisahnya tentang dua sahabat yaitu elang dan ayam. Meski di alam elang adalah predator, tapi karena mereka tumbuh bersama, maka ia tidak memakan ayam. Tiap hari elang pergi berburu, sementara ayam tentu tidak bisa terbang setinggi elang.
Hingga suatu hari elang mengajak ayam terbang. Ternyata, si ayam malah mual dan minta turun. Mereka akhirnya menemukan pertanian dan sapi gemuk yang tinggal di sana. Ayam senang karena di sana banyak makanan. Elang heran ada tempat dimana bisa ‘makan gratis’ tanpa melakukan apa-apa. Ayam pun ditinggalkan di sana dan elang tetap terbang tinggi. Setelah beberapa lama, istri petani ingin makan ayam goreng. Dan tentu saja, ayam ditangkap, dipotong, dan dimasak. Ia berakhir sebagai santapan, sementara elang tetap hidup bebas berkelana meneruskan petualangan hidupnya.
Nah, sekarang pilihan terserah kita sendiri. Mau jadi ayam atau elang?