Menghargai Keahlian Teman

Expertise Concept

Seorang kenalan saya, seorang penulis yang baru saja meluncurkan novel terbarunya bernama Senda Irawan “curcol” di status Facebook-nya. Ia menyayangkan sikap sejumlah teman yang meminta bukunya secara gratis atau dengan “harga teman”. Menurutnya, itu berarti tidak menghargai keahlian teman. Justru bila mengaku teman, maka seharusnya menghargai temannya bukan?

Lebih jauh lagi, tindakan itu seperti merampok. Karena bagi penulis, buku adalah mata pencahariannya. Meski kebanyakan penulis tidak terlalu mengandalkan hasil penjualan bukunya dikarenakan rendahnya royalti yang diberikan penerbit, tetap saja tindakan itu tidak patut. Itu pun sama dengan jikalau kita meminta pakaian gratis dari teman yang punya butik atau makan siang gratis dari teman yang memiliki restoran.

Sebenarnya, kalau pihak pemiliknya mempersilahkan, maka tentu saja tidak mengapa diterima. Tetapi jangan kita sebagai konsumen yang memintanya. Dalam adat pergaulan di Indonesia, memang ada istilah “harga teman”, dimana ada potongan harga khusus karena kenal dengan pemilik. Tapi, sekali lagi, itu haruslah atas prakarsa si pemilik sendiri, bukan kita yang meminta.

Ada sedikit perbedaan antara buku (dan karya intelektual) lainnya dengan produk massal lainnya. Dalam hal ini, proses penciptaannya rumit dan lama. Kita tahu betapa mahalnya harga sebutir berlian dan selembar lukisan. Itu jelas karena kelangkaannya. Seperti itulah sebenarnya proses penciptaan buku sebagai karya dari penulis.

Tentu saja, dalam dunia materialisme seperti sekarang, apalagi di tengah gencarnya teknologi informasi, buku seolah menjadi tidak penting lagi. Buku berkualitas seringkali diukur dari banyaknya copy yang terjual. Padahal, sejarah mencatat, banyak sekali buku yang mempengaruhi sejarah peradaban manusia cuma terjual sangat sedikit alias gagal secara komersial. Beberapa karya Friedrich Nietzsche misalnya, hanya terjual belasan eksemplar saja. Itu pun masih ada yang sebenarnya dibagikan secara cuma-cuma kepada teman-temannya.

Terus-terang, saya sendiri seringkali dikecewakan oleh sikap kebanyakan prospek yang kurang menghargai keahlian (expertise). Seringkali, kurangnya penghargaan ditunjukkan dengan “menawar” harga begitu rupa bak menawar baju grosiran di Mangga Dua saja. Tentu saja, bukannya tidak boleh menawar, tetapi ada etiketnya.

Padahal, keahlian adalah ramuan dari kompetensi akademis, ketrampilan teknis dan non-teknis serta pengalaman plus intuisi yang mahal harganya. Semoga saja di era pemerintahan baru ini penghargaan terhadap karya intelektual akan menjadi lebih baik.

 

Ilustrasi: progressions.prssa.org

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s