Hari ini, saya bertemu dengan dua orang teman. Satu orang phlegmatic, seorang lagi choleric. Memang, sebagai personality (kepribadian) minoritas di planet ini, saya harus makin sadar bahwa saya “manusia langka”. Dan dalam hal ini, justru kemampuan beradaptasilah yang sangat penting. Dalam bahasa psikologi, ini disebut Adversity Quotient (AQ). Karena ini hidup saya, maka jelas saya sendirilah yang bertanggung-jawab atasnya. Hubungan saya dengan orang lain bukan orang lain yang akan mendapatkan untung-ruginya, tapi justru saya sendiri. Apabila kemudian orang lain terdampak, terutama dalam hal keuntungan, tentu itu efek samping positif.
Tapi, kendali ada pada saya. Hidup saya, adalah kontrol saya.
Belum semua orang bangun (baca kembali tulisan di blog ini 31 Agustus 2014 lalu). Dan kita tidak bisa memaksa orang bangun. Karena itu, di sini justru sayalah yang harus menjadi pemain layangan. Dalam konteks hubungan antar individu (interpersonal relationship) dengan orang lain, saya harus pandai menempatkan diri. Pengertian sederhana dari istilah positioning dalam ranah marketing terutama cabangnya yaitu branding harus diterapkan.
Sebagai perfeksionis, saya seringkali menuntut kondisi sempurna. Padahal, tak ada yang sempurna di dunia ini. Termasuk saya.
Maka, dalam menghadapi hubungan dengan individu lain yang juga tak sempurna, saya yang harus menyiasatinya. Contoh sederhana adalah dari dua orang teman yang saya temui hari ini.
Mereka punya kebiasaan (habit) yang di luar kelaziman. Ini merupakan tanda “ketidaksempurnaan”. Satu orang yang berkepribadian phlegmatic ternyata punya habit yang bisa dipandang kurang menghormati tamu. Beberapa kali saya bertemu dengannya, tak pernah saya dijamu. Bahkan, saat saya bertandang ke kantornya, kami bicara di kantin, dan saya bahkan tidak ditawari segelas air sekali pun. Saat saya memesan minum sendiri, ia juga tidak berinisiatif membayari. Padahal, saya datang ke kantornya untuk memberi uang, dalam konteks saya memesan jasa yang ditawarkannya.
Tapi kemarin, ia menunjukkan satu habit positif. Saya diantarkan dari lokasi pertemuan kami ke tempat teman kedua saya. Padahal, jaraknya jauh dan ia sebenarnya tidak bermaksud ke area itu. Tindakan itu berarti ia ringan tangan dan mudah menolong.
Sementara teman kedua, juga punya sejumlah habit yang tidak lazim bagi saya. Salah satunya adalah kesenangannya menelepon alih-alih membalas SMS. Sementara, saya malah sebaliknya. Karena seringkali saat telepon bordering, saya sedang melakukan hal yang tidak bisa ditinggalkan seperti meeting atau malah mengemudikan kendaraan. Tapi, ia punya habit bagus, yaitu open mind dan trustable. Ia berpikiran terbuka dan amanah atau bisa dipercaya. Ini memudahkan dalam kerjasama.
Maka, saya berusaha untuk positive thinking dalam banyak hal. Bila dahulu saya tidak mau ada ‘cacat’ dalam banyak hal, kini saya malah membiarkan karena sadar bahwa tak akan pernah ada yang sempurna. Semua dimulai dengan satu hal sederhana: menghargai orang lain apa adanya.
Ilustrasi: www.itsnever2late2.com