Sekian lama blog ini saya tinggalkan penulisan rutinnya, ada beberapa orang pendatang baru yang mengunjungi. Kemungkinan karena mencari di search engine. Atau bisa jadi penasaran siapa saya karena saya menjadi inisiator situs http://jokowipresidenrakyat.com yang cukup banyak dikunjungi.
Ternyata dari sekian banyak komentar positif, ada satu -hanya 1- komentar negatif. Ia mengejek salah satu tulisan saya yang dianggapnya nggak nyambung dan ngelantur ke mana-mana. Padahal, bagi saya, justru otaknyalah yang nggak nyampe sehingga tidak mampu mencerna esensi tulisan saya.
Well, tanpa bermaksud sombong, saya punya IQ tinggi. Dan seringkali ini justru merepotkan. Kenapa? Karena orang seringkali tidak nyampe untuk mencerna pemikiran saya. Kalau saya bicara, seringkali mereka nggak nyambung.
Sebagai contoh konkret, saat saya menjadi dosen di kampus terakreditasi rendah, tampak jelas beda kualitas mahasiswanya dengan kampus terakreditasi tinggi. Di kampus terakreditasi rendah, seringkali saya harus berulangkali menjelaskan, bahkan sering dari awal. Kenapa? Karena IQ mereka juga rendah. Beda sekali dengan kampus berakreditasi tinggi, dimana mahasiswanya encer otaknya. Kuliah bukan searah dari dosen ke mahasiswa, tapi diskusi dua karena mahasiswanya “tak-tok”, nyambung.
Mereka mampu mengambil asosiasi dari kejadian sehari-hari dengan teori. Mereka mampu mengambil analogi dari film untuk implementasi nyata misalnya. Mereka mampu mengasosiasikan kejadian di luar negeri dengan kondisi Indonesia. Mereka mampu mengaplikasikan dua hal yang tampak berbeda menjadi satu kesatuan utuh.
Saya lantas teringat kembali, dahulu, saat kuliah sarjana di UI, ada satu dosen saya yang bernama Rocky Gerung. Ia punya banyak gelar. Tapi saat menerangkan bahan kuliah, ia seperti ngalor-ngidul, tapi sejatinya nyambung asal ngerti. Maka, cara terbaik untuk ikut kuliahnya adalah dengan tidak terlambat. Karena kalau terlambat, seperti menonton film bioskop jadi akan kehilangan alur. Ada lagi satu dosen mata kuliah Logika bernama Y.P. Hayon. Berbeda dengan Bung Rocky, Pak Hayon -begitu kami memanggilnya- justru jauh lebih tua dan agak ‘jadul’. Mata kuliahnya pun sulit. Tapi, di mata kuliah beliau berdua, nilai saya A. Hanya beberapa orang di kelas saya yang mendapatkan nilai sempurna itu.
Fenomena serupa juga saya jumpai saat saya bicara dengan orang-orang yang dikenal cerdas bahkan jenius. Sebagai jurnalis dan aktivis serta sekarang pengusaha, saya berkesempatan bertemu empat mata dengan orang-orang hebat seperti Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,SH,MH, Prof.Dr. Emil Salim, atau Anies Baswedan, Ph.D. Saat bicara, ide-ide mereka berlompatan begitu liarnya. Ngalor-ngidul, tapi tidak ngawur. Hanya bisa dicerna oleh mereka yang minimal punya kecerdasan memadai. Dan akan sangat mudah bagi yang sama-sama jenius. Saat bicara dengan saya misalnya, dari semula cuma diberi waktu 30 menit, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH,MH malah berkenan bicara hingga empat jam hingga membatalkan tiga janji lain. Itu karena beliau merasa saya mampu mencerna pemikirannya dengan baik.
Sementara di dunia maya, apalagi di social media , banyak sekali orang-orang bodoh. Mereka sebenarnya tidak mampu mencerna tulisan yang mereka baca, tapi kemudian malah menuding penulisnya gak nyambung. Sudah begitu, dengan pengecutnya mereka sembunyi di balik nickname. Karena itulah mereka dengan leluasa berani mengejek siapa pun tanpa takut ketahuan. Karena mereka begitu pengecut untuk menampilkan jatidiri aslinya. Terkadang, beberapa teman ahli IT menelusuri jejak mereka. Dan setelah ketahuan, ternyata mereka yang memiliki rating tinggi di social media cuma orang yang jelas tidak eksis di dunia nyata, seringkali pengangguran atau pekerjaannya tidak jelas. Mungkin karena marah pada kondisi nyata hidup mereka, dengan mudah mereka memaki-maki di dunia maya.
Orang-orang semacam inilah yang disebut “panasbung” alias “pasukan nasi bungkus” di masa kampanye. Bermodal sedikit kemampuan internet, mereka mau dibayar seharga nasi bungkus untuk menghina orang lain, terutama calon pihak lawan. Tapi dari penghinaannya, terlihat jelas IQ mereka yang ‘jongkok’.
Maka, saat Prabowo yang dikatakan oleh Fahri Hamzah ber-IQ 152 dan ternyata seolah tidak terlihat saat debat di TV, saya memakluminya. Karena seringkali orang ber-IQ tinggi memang punya masalah dengan EQ. Dan saat EQ-nya sedang terganggu, kecerdasannya seolah tak muncul. Bisa jadi suasana hati Prabowo sedang tidak nyaman saat itu hingga jawabannya terkesan nggak nyambung dengan pertanyaannya.
Saya tidak seperti Hasto Kristianto yang mengejek angka 152 sebagai tensi Prabowo. Saya percaya beliau memang jenius. Tapi seperti halnya saya, memang kerapkali masalah emosi begitu mengganggu. Segbagai sebuah bentuk keadilan Tuhan, orang ber-IQ tinggi biasanya ber-EQ lebih rendah.
Maka, janganlah meremehkan IQ. Apalagi di Indonesia ada kecenderungan untuk “kaya cepat tanpa kerja, kalau perlu menghalalkan segala cara”. Selain di beberapa hal meremehkan pentingnya pendidikan formal, juga di hal lain menyuburkan korupsi. Makin tinggi IQ, makin tinggi pula rasa moral dan harga diri. Walau begitu, apabila kebetulan secara genetik tidak ber-IQ tinggi, jangan berkecil hati. Masih banyak jalan sukses. Tapi ya itu tadi, jangan mengejek orang lain padahal sebenarnya diri sendiri yang jelek. Jangan mengejek orang lain nggak nyambung, padahal diri sendiri yang nggak nyampe. Hahaha.
Ilustrasi: blog.lib.umn.edu