Hari ini adalah hari lahir Pancasila. Pada 1 Juni 1945 Soekarno yang kemudian menjadi Presiden pertama RI mencetuskan perlunya dasar bagi negara yang akan lahir. Di hadapan sidang BPUPKI, ia mengusulkan nama Pancasila atau lima dasar. Meski rumusan sila-silanya berbeda dengan yang akhirnya ditetapkan oleh KNIP, akan tetapi jelas kata “Pancasila” itu Soekarno yang pertama kali mencetuskannya. Adapun sila-silanya dipakai rumusah dari Mr. Muhammad Yamin, anggota BPUPKI yang dikenal ahli hukum dan sastra.
Hari ini, di tahun 2014, gema peringatan Hari Lahir Pancasila tidak terasa. Bangsa kita malah sedang tersita perhatiannya oleh peristiwa politik lima tahunan: Pemilu, lebih khususnya Pilpres. Memang, KPU mengagendakan pengundian nomor urut dua orang pasangan capres-cawapres pada hari ini. Dan hasilnya kita sudah sama-sama ketahui dari pemberitaan media massa, bahwasanya pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapatkan nomor urut 1 dan tentunya Joko Widodo-Jusuf Kalla nomor 2.
Akan tetapi ada yang mengganggu saya sebagai warga negara yang baik di sini. Terlepas dari keberpihakan saya pada salah satu pasangan, saya merasa pemakaian simbol atau logo burung Garuda Pancasila oleh pasangan Prabowo-Hatta dan tim suksesnya kurang pas. Pasalnya, itu benar-benar lambang negara kita, hanya saja dibuat dalam bentuk siluet dan diberi warna monochrome seluruhnya merah.
Kenapa saya gundah? Karena dua hal. Pertama, hal itu menurunkan harkat dan kehormatan lambang negara kita yang resmi. Hal itu bertentangan dengan semangat yang diusung oleh UU No. 24 tahun 2008 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Kedua, pemakaian lambang negara oleh salah satu pasangan capres-cawapres merupakan akuisisi oleh satu gologan. Dengan demikian mengesankan burung Garuda Pancasila hanyalah merupakan milik golongan tersebut. Padahal, jelas sebagai lambang kehormatan bangsa, ia milik semua warga negara Indonesia tanpa kecuali. Di samping itu, akuisisi itu mengesankan alienasi atau penegasian dari golongan yang tidak menggunakannya. Seakan, golongan lain lantas tidak nasionalis dan tidak Pancasilais. Padahal, semua individu yang dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres harus memiliki kesetiaan tanpa keraguan kepada negara ini, termasuk dengan segala lambang-lambang kehormatannya. Inilah amanat yang diusung oleh UU No. 42 tahun 2009 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden .
Saya sudah mengirimkan surat pembaca ke 8 media massa cetak, tapi saya tidak tahu apakah akan dimuat. Karena bagi saya, hal ini penting. Jauh lebih penting daripada kemenangan salah satu kandidat capres-cawapres mana pun. Karena NKRI dan lambang-lambang kehormatannya merupakan sebuah hal yang sakral bagi kita selaku warga negaranya.
Ilustrasi: mtsrijalulhikam.blogspot.com
Ping-balik: Surat Pembaca & Efeknya | LifeSchool by Bhayu M.H.·