Apabila harus memilih antara menjadi manusia atau selain manusia, mana yang akan Anda pilih? Karena kita cuma bisa tahu secara pasti adanya hewan dan tumbuhan, maka mungkin pilihannya akan mantap kepada manusia. Tapi bagaimana bila memasukkan makhluk astral atau supranatural seperti malaikat atau jin? Mereka hidup abadi atau minimal berumur lebih panjang daripada manusia. Di samping itu juga punya berbagai kelebihan kemampuan, sebutlah tidak dibatasi ruang dan waktu seperti kita. Belum lagi kalau memasukkan opsi adanya alien atau makhluk extra-terrestrial yang jauh lebih pintar dan berperadaban lebih maju daripada kita. Apakah masih yakin tetap memilih menjadi manusia?
Saya seringkali merenungkan hal ini.
Bagi saya, satu kesulitan menjadi manusia justru interaksi dengan manusia lain. Adanya pilihan dan kemampuan untuk bersikap tidak apa adanya itu justru menyulitkan. Dilema semacam itu tidak ditemui oleh hewan, apalagi tumbuhan. Tentu saja, saya tidak tahu mengenai makhluk astral dan extra-terrestrial karena tak ada khazanah ilmu memadai soal itu.
Dalam hidup, seringkali kita memasang ‘topeng’ di hadapan manusia lain. Ini sebenarnya setiap saat selalu kita pakai. Jelas, tak ada orang yang mau ‘ketahuan belangnya’. Semua ingin tampil baik. Tapi ‘topeng’ berarti juga kepalsuan. Dan celakanya, kita seringkali harus melakukan itu, demi mempertahankan harga diri kita sendiri, atau atas nama ‘hubungan baik’. Kita sebagai manusia adalah “homo social”, dimana membutuhkan sesama manusia lain. Di sinilah kita kemudian menjadi manusia yang penuh pertimbangan.
Sebagai contoh konkret, apabila kita bertemu seseorang yang kita tahu memiliki kelemahan atau kekurangan, akankah kita beritahukan itu kepadanya? Saya yakin, 99,99 % jawabannya tidak. Kecuali tentu hal-hal sederhana seperti lipstick yang tercoreng atau ritsleting yang tidak terpasang. Tapi itu pun bahkan seringkali kita tidak ‘berani’, apalagi bila orangnya tidak kita kenal.
Bila kita merasa orangnya kenal dekat pun, untuk hal-hal elementer dan fundamental kita lebih memilih diam daripada ‘berantem’. Ya. Karena pada dasarnya manusia punya sifat ujub atau selalu merasa diri baik dan sempurna. Padahal, justru semua agama mengajarkan agar mewartakan kebenaran dan memperbaiki keburukan. Memang, sempurna itu tidak akan ada karena itu milik Tuhan semata. Akan tetapi menuju kepada satu kondisi lebih baik itu hal yang wajar bukan?
Tidak ternyata. Banyak orang lebih memilih hidup dalam “status quo”. Kondisi “yah begini deh, mau gimana lagi”. Padahal, andaikata yang bersangkutan mau merubah mind-set, lantas memantapkan tekad dan menjalan action-plan, niscaya akan terjadi perubahan. Justru perubahan itulah inti dari kemanusiaan. Satu hal yang membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan. Karena kita selalu menginginkan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Itulah hakekat kemanusiaan.
Ilustrasi: www.spiritualwisdom.org.uk