Ini bukan kampanye mendukung salah satu partai politik yang menggunakan kata “perjuangan” di namanya lho. Melainkan benar-benar “perjuangan hidup” dalam arti harfiahnya. Saya terinspirasi membuat tulisan ini saat menonton ulang film Conviction (2010) – resensi bisa dibaca di sini. Film ini merupakan penggambaran ulang kisah nyata perjuangan seorang wanita orangtua tunggal dengan dua anak yang berusaha membebaskan kakak kandungnya dari penjara. Yakin telah terjadi salah tangkap dan salah dakwa, wanita bernama Betty Anne Waters itu berupaya membela sendiri kakaknya dengan lebih dulu menempuh studi hukum untuk mendapatkan lisensi pengacara. Upayanya berhasil setelah melalui jalan berliku, dan akhirnya Kenny –kakaknya yang ditahan- dibebaskan setelah ditahan selama… 18 tahun!
Cinta, keyakinan dan semangat pantang menyerahlah yang membuat perjuangan yang sepertinya tiada ujung itu pada akhirnya berhasil. Tantangan luar biasa yang dihadapi Betty Anne Waters tidak membuatnya berhenti berjuang. Padahal, perjuangan itu bukan untuk dirinya sendiri.
Semua itu membuat saya malu. Terkadang, dalam hidup yang bagi saya keras ini, saya kebingungan menentukan arah. Kehilangan fokus, melenceng dari tujuan, berpaling ke hal lain yang kurang penting, dan aneka kebodohan lain. Apalagi sebagai perfeksionis yang koleris, membuat saya cenderung terlalu keras kepada diri sendiri.
Padahal, berkaca dari pengalaman hidup Betty Anne Waters, wajar saja sebagai manusia mengalami periode turun atau di bawah. Karena memang tak ada manusia yang selalu di atas. Apalagi, perjuangan panjang selama 18 tahun untuk membebaskan saudara kandungnya kemudian justru berakhir ‘konyol’. Meskipun sang kakak memang berhasil bebas dari penjara, akan tetapi ia tewas dua tahun kemudian. Kejadian yang tidak digambarkan dalam film tersebut justru diakibatkan kecerobohan yang bersangkutan sendiri. Ia tewas saat mengambil jalan pintas untuk menuju rumah saudaranya.
Lantas, apakah kejadian itu membuat perjuangan sang adik yang telah berpayah-payah berkuliah hukum sambil bekerja –karena mereka bukan dari golongan orang mampu- dan melakkan berbagai upaya untuk membebaskan kakaknya itu sia-sia?
Bagi yang berorientasi hasil, bisa jadi jawabannya ya. Tapi bagi saya yang memberikan kredit kepada proses, jelas tidak.
Apa yang dikerjakan Betty Anne Waters itu sesuatu yang hebat dan luar biasa. Ia berhasil mengguncangkan sistem peradilan dan hukum Amerika Serikat yang dikenal mapan. Bahkan ia mampu membuat pemerintah mengakui kesalahannya dan pada akhirnya membayarkan ganti rugi. Semua itu jelas tidak sia-sia.
Meski orang yang diperjuangkan kemudian malah tidak lama menikmati hasil perjuangan hidup itu, jelas ada hasil yang dicapai oleh Betty Anne Waters. Apa yang kemudian seringkali membuat manusia –termasuk saya- ragu adalah bila proses yang sudah susah-payah dijalankan dan dikerjakan pada akhirnya tidak mencapai hasil yang diharapkan.
Dalam hal ini, ada dua penyikapan, duniawi dan agamawi. Secara duniawi, saya beranggapan proses berangkat dari satu titik menuju ke titik lain. Anda bisa membayangkan sebuah progress bar atau minimal perjalanan antara dua kota. Bisa jadi, kita tidak mencapai final 100 %, tapi jelas ada kemajuan dari proses yang dilalui, bahkan bila hanya 1 % sekali pun. Bila kita hendak bertujuan pergi ke suatu tempat yang baik dengan niat baik, lantas selangkah di depan pintu masuk kita tewas tertimpa cecak misalnya, maka Tuhan jelas mencatat perbuatan kita itu sebagai hal yang baik. Nah, itulah penyikapan kedua. Dengan iman. Percaya bahwa “Gusti ora sare”. Semua hal baik akan berakhir baik. Perjuangan hidup pasti akan berarti, walau mungkin belum kita dapati di hidup yang fana ini.
Ilustrasi: weheartit.com