Resmi sudah, hanya ada dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum untuk memilih Presiden RI 2014-2019. Setelah pada pagi hari Joko Widodo mendeklarasikan Jusuf Kalla sebagai pasangannya dengan didukung oleh PDIP, Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura. Sementara di sore harinya Prabowo Subianto bersama cawapresnya Hatta Rajasa diumumkan didukung oleh Partai Gerinda, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Partai Golkar. Dalam kontestasi ini, Partai Demokrat berdiri sendiri dan tidak memihak koalisi mana pun.
Kita semua bisa memilih sesuai selera. Pandangan obyektif tak lagi berlaku di sini. Karena ini seperti halnya pembelian produk kebutuhan sehari-hari (consumer goods), konsumen kebanyakan memilih berdasarkan emosi, bukan rasio. Karena itulah iklan komersial selalu menyentil sisi ini, sehingga konsumen akan melakukan impulse buying dan bukan necessary buying.
Dalam konteks ini, seringkali memilih pimpinan negara pun sama. Selera di sini terkait pula dengan sentimen Suku, Agama, Ras, Antar-Golongan dan Seks (SARAS). Terlihat jelas, ada capres yang dikesankan lebih taat beragama daripada yang lain. Demikian pula dengan suku, karena Indonesia mayoritas penduduknya adalah orang Jawa dan keturunan campurannya (seperti kita kenal dari istilah Pujakesuma dsb.), maka hampir pasti presiden harus orang Jawa. Seks atau jenis kelamin pun tampaknya harus lelaki. Agama hingga saat ini harus Islam. Sementara ras biasanya lebih disukai apabila suku bangsa yang dianggap pribumi atau asli nusantara, bukan keturunan atau campuran asing. Sedangkan golongannya yang pasti bukan dari mereka yang dianggap bertentangan dengan apa yang diakui negara. Sebutlah tidak ada komunis yang bisa jadi presiden.
Bagi saya, ini sebenarnya tanda ketidakdewasaan kita dalam berpolitik. Seharusnya, semua itu dikesampingkan sehingga yang jadi pedoman adalah rekam jejak dan visi-misi. Satu harga mati hanyalah kesetiaan kepada NKRI. Sehingga seharusnya mereka yang pernah memberontak kepada negara ini tidak bisa menjadi pimpinan negara.
Maka, saya bermimpi satu saat republik ini dipimpin oleh minoritas tapi punya kemampuan dan karakter kuat untuk memimpin bangsa menuju kemajuan. Semoga saja kelak kita punya Presiden beragama non-muslim, bukan Jawa, ras yang campuran non-pribumi, perempuan dan golongan dari mereka yang tidak umum. Syaratnya tentu mereka tetap harus mendapatkan dukungan mayoritas, sehingga tidak menjadi tirani minoritas.