Kita sebagai manusia punya kelemahan, salah satunya adalah selalu memandang diri sendiri sebagai pusat dunia, dengan demikian cenderung merasa sudah bagus dan baik. Setiap orang punya konsep diri yang dibentuk oleh banyak faktor. Pertama-tama memang orangtua atau pihak pengasuh sewaktu masih kecil. Mungkin kita masih ingat film seperti Tarzan yang mengisahkan anak manusia namun diasuh oleh gorilla. Ia pun kemudian bertingkah laku bahkan berbahasa seperti gorilla. Penelitian biologis dan psikologis modern pun menunjukkan pola serupa. Anak asuh yang tidak mengenal orangtua kandung akan mengikuti pola orangtua asuhnya. Meskipun ia orang Jawa misalnya, tapi bila diasuh oleh orang Batak, niscaya ia akan mengikuti adat-istiadat bahkan bisa berbahasa Batak.
Di saat dewasa, kebanyakan orang sudah terbentuk pribadinya dan konsep dirinya. Ia dipengaruhi oleh peer-group, lingkungan, sekolah, kampus, dan pergaulan yang lebih luas termasuk tempat kerja dan sosial.
Di saat inilah, biasanya seseorang mencapai titik “matang” dalam hidupnya. Ini sebenarnya merupakan kondisi di mana seseorang sudah sulit berubah secara kepribadian dan konsep diri.
Karena itulah, kemudian diperlukan tes untuk menilainya. Apalagi bila itu terkait dengan pekerjaan atau penempatan tenaga kerja. Seseorang mungkin merasa dirinya hebat atau memadai untuk suatu pekerjaan terentu. Tapi, hasil tes bisa jadi malah menunjukkan sebaliknya.
Seseorang terutama orang Indonesia seringkali “over confident” yang berujung pada “over estimated” terhadap diri sendiri. Saya seringkali menulis soal ini.
Pegawai seringkali merasa dirinya sudah “too sexy for the shirt”. Sehingga tidak ada baju yang pantas atau cukup baik baginya. Baju di sini bisa berarti “pekerjaan” atau “tugas”. Ia bisa banyak sesumbar, tapi tidak ada buktinya. Sayangnya, di Indonesia terutama di perusahaan yang belum memiliki standar mutu manajemen, faktor ini bisa kabur oleh bias “like and dislike”.
Seseorang bisa diterima bekerja, dipertahankan statusnya atau malah naik pangkat semata karena “pandai menjilat”. Dan ini tidak mengejutkan.
Orang Indonesia masih krisis eksistensi. Banyak dari mereka yang masih butuh pujian dan pengakuan. Bahkan ini juga terjadi pada orang-orang yang tampaknya ‘aman’ sekali pun. Coba saja lihat para calon presiden kita dalam iklan di televisi. Bukankah mereka senang “dijilat” oleh para pengikutnya?
Itulah makanya satu-satunya parameter obyektif adalah tes atau ujian. Karena itu, keliru besar dan sebuah kebodohan apabila mengira tes itu tidak obyektif semata karena diri sendiri, keluarga, teman atau kerabat gagal melaluinya.
Ilustrasi: testhq.net