Tidak ada orang yang mau dibilang jahat, buruk atau punya kekurangan. Bahkan apabila hasil tes menunjukkan nilai kurang memadai, tetap saja ada yang tidak mau menerima. Contohnya Ujian Nasional, bukan hanya ingin lulus, kalau bisa nilainya pun 10 semua. Memang, hanya pengadilan hari akhir sajalah yang kiranya bisa membungkam orang-orang semacam ini.
Masalahnya, kita hidup bersama 7 milyar orang lain di dunia. Sesempit-sempitnya pergaulan Anda, ada orang selain diri Anda di sekitar. Saya ini terkategori introvert, tapi tidak nerd. Di rumah orangtua saya, ada tetangga yang bisa saja dikategorikan ini. Pagarnya tinggi, tidak pernah mau bertegur sapa dengan tetangga, tidak keluar rumah, bahkan anaknya pun pergi bekerja saat pagi buta dan pulang tanpa diketahui tetangga. Ketika ibunya yang janda meninggal dunia, rumah itu pun ditinggalkan merana. Kini kosong tak berpenghuni dan ditumbuhi aneka tumbuhan liar.
Tapi kebanyakan kita nggak ngeh bahwa meskipun mungkin tidak diutarakan langsung, hidup kita dinilai oleh orang lain. Memang bukan lomba atau kompetisi, sehingga kerap kita tak menganggap penting penilaian itu. Akan tetapi, ketahuilah, setiap orang menyimpan memori atas perlakuan kita kepada mereka. Di kemudian hari, andaikata kita terbalik membutuhkan bantuan mereka, niscaya kita akan mendapatkan feedback seperti yang telah kita berikan.
Dua malam lalu adalah pelajaran amat mahal bagi saya. Datang dari kondisi darurat.
Saya jatuh sakit di rumah saya di Depok. Sepeninggal pasangan hidup saya, memang saya tinggal sendirian. Dalam kondisi panik karena saya tidak bisa bergerak dari tempat tidur selama beberapa jam, saya mengirim sms permintaan bantuan kepada ibu saya. Ibu saya yang juga sudah hampir setahun tak bangun dari ranjang karena sakit, –namun sadar- pun dengan panik kemudian meminta bantuan kepada beberapa orang. Satu orang teman dekat, satu orang saudara sepupu, dan satu orang montir. Tahukah Anda siapa yang akhirnya bersedia menjemput saya untuk dibawa ke RS? Yang terakhir.
Saya memang bisa saja meminta bantuan pada tetangga, dengan berteriak misalnya. Tapi nanti malah jadi heboh. Karena memang di rumah orangtua saya maupun di rumah saya suasana guyub-nya masih amat kental. Dulu waktu mobil saya mogok saja warga beramai-ramai membantu mendorong.
Kenapa saya memberi akses pada Ibu saya untuk meminta bantuan dari teman dekat dan saudara sepupu saya itu? Karena saya sudah pernah memberikan bantuan kepada mereka. Dan mereka juga pernah berjanji akan membantu saya dalam kondisi darurat.
Tapi, ternyata omong-kosong belaka.
Ketika itulah saya makin menyadari, betapa sangat sedikit orang yang akan masuk surga. Saya tidak merasa saya adalah ahli surga. Tetapi kalau Tuhan keras menetapkan standar tentang kriteria “baik”, niscaya penghuni surga amat sangat sedikit. Dan saya mungkin termasuk yang tidak memenuhi kriteria “baik” itu. (Apalagi mereka yang menolak permintaan bantuan saya tadi, setidaknya menurut saya, hehe).
Inilah yang ditakuti oleh para sufi dalam do’anya: “Wahai Tuhanku Yang Maha Adil, janganlah Engkau kedepankan keadilan-Mu. Karena jika itu Engkau terapkan, niscaya kami tak akan sanggup memenuhi timbangan-Mu. Wahai Tuhanku yang Maha Bijaksana, Maha Pemurah, dan Maha Baik, mohon Engkau kedepankan ketiga sifat itu daripada sifat Maha Adil apalagi Maha Penghukum-Mu. Karena hanya karena kemurahan-Mu-lah kami akan selamat.”
Foto ilustrasi: www.edoyr.com