Berita di media masssa sedang heboh mengenai tindakan sodomi yang dilakukan terhadap siswi TK Jakarta International School (JIS), Jakarta Selatan. Saya agak kurang sepakat bila tindakan itu disebut hanya dengan “pelecehan seksual” (sexual harassment), karena agak mengaburkan fakta. Bagi saya, itu sudah “perkosaan” (rape). Definisi perkosaan sendiri adalah adanya pemaksaan hubungan intim antara seorang wanita dengan satu atau lebih lelaki tanpa izin dan tidak diinginkan oleh pihak wanita. Perkosaan selalu ditandai dengan pemaksaan penetrasi alat kelamin lelaki kepada pihak perempuan. Sementara pelecehan seksual lebih luas, karena mencakup pula perkataan, tindakan atau isyarat tanpa perlu disertai adanya penetrasi alat kelamin. Sebagai contoh konkret, memegang pundak atau tangan perempuan tanpa izin si perempuan atau tidak diinginkan si perempuan sudah merupakan pelecehan seksual. Pelecehan seksual bisa dilakukan oleh pria kepada wanita atau sebaliknya. Biasanya, ini terkait dengan kekuasaan. Jadi, atasan wanita sangat mungkin melecehkan secara seksual bawahannya yang lelaki. Walau ini amat sangat jarang terjadi karena posisi pria yang cenderung lebih dominan.
Dalam kasus JIS, sekolah elite yang pastinya bayarannya mahal itu sebenarnya sudah cukup bagus dalam menerapkan standar keamanan. Sekedar gambaran, penjagaan di sekolah ini sangat mirip kedutaan besar negara asing. Pintu gerbangnya amat kokoh, terdiri dari dua lapis dan dijaga ketat. Pemeriksaan terhadap kendaraan dilakukan dengan seksama. Konon ada 400 CCTV mengawasi seluruh areal sekolah yang memang amat luas itu.
Akan tetapi, setiap sistem buatan manusia pasti memiliki kelemahan. Celah keamanan ini tentu saja diketahui oleh ‘orang dalam’. Memang mustahil memasang CCTV di toilet atau WC. Walau sebenarnya boleh saja memasang di depan pintu masuknya. Karena itulah, petugas kebersihan yang sehari-hari bekerja di sana tentu mempelajari hal ini.
Terlepas dari penanganan hukum oleh pihak kepolisian, menurut saya ada sisi lain yang perlu dicermati. Pertama, dari pihak JIS tentu harus mengubah standar protokol keamanan. Kedua, justru dari pihak perusahaan outsourcing yaitu ISS sebagai payung dari tersangka juga harus mengubah standar perekrutan pegawainya. Ketiga, peran orangtua dalam mendidik anaknya juga mustinya ditingkatkan. Biasanya, orangtua cenderung menyerahkan sepenuhnya hal ini kepada sekolah. Apalagi JIS adalah ‘sekolah mahal’ yang pastinya orangtua muridnya pun berasal dari kalangan berada. Mereka yang berada di kelas sosial ini biasanya punya kesibukan harian yang tidak lazim, sehingga bisa jadi abai terhadap perkembangan anaknya. Dalam kasus korban di JIS, bagusnya ibu korban ngeh pada perubahan tingkah-laku anaknya. Meski ia tidak mau mengaku saat ditanya, akhirnya didapatkan “trik kreatif” –yang saya sangat puji- hasil kerjasama orangtua dan guru untuk mengorek keterangan si anak. Apa caranya? Seorang guru pria JIS mengenakan kostum “Captain America” dan berkunjung ke rumah si anak. Akhirnya, anak itu mau bercerita alias “curhat” kepada sang idola. Sungguh brilyan! Tapi juga mengejutkan karena si anak ternyata telah menjadi korban kejahatan.
Maka, sudah seyogyanya kita semua sebagai anggota masyarakat yang beradab turut membantu memerangi kejahatan semacam ini. Sebagai orangtua, tentu harus lebih memperhatikan perkembangan anak. Tidak hanya memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tapi juga psikologisnya. Bagi yang masih berusia muda atau belum memiliki anak, bisa turut andil dengan menjaga orang dekatnya. Atau minimal, mengedukasi siapa pun untuk melindungi setiap anak yang ada di dekat mereka. Tentu saja harapan terbesar ada di pundak penguasa untuk bisa membuat peraturan yang lebih keras lagi agar para penjahat jera dan yang baru berniat takut melaksanakan kejahatannya.
Tindakan para pedofil (kelainan psikologis yang menyukai hubungan seks dengan anak kecil) ini sangatlah tidak bermoral. Karena anak bisa mengalami luka traumatis mendalam dan sukar pulih bahkan hingga dewasa. Kita harus ingat, anak adalah amanah Tuhan yang harus dijaga. Ia tidak boleh dilukai, apalagi sampai dijahati seperti itu. Maka,tanggung-jawab kita semualah untuk mengayomi dan mendukung mereka.
Ilustrasi : http://www.davidicke.com