Hari ini, siswa –siswi SMA dan setara mulai menghadapi Ujian Nasional (UN). Sudah sejak era reformasi, terjadi berkali-kali pergantian sistem pendidikan. Anehnya, bukan makin baik, malah carut-marut. Apa yang saya herankan, kenapa di masa Orde Baru yang katanya korup dan jelek itu hal ini tidak terjadi ya? Dulu, angkatan saya menghadapi ujian serupa dengan nama berbeda. Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) namanya. Ada dua kali ujian pula. EBTA untuk mata pelajaran lokal di sekolah, EBTANAS (EBTA Nasional) untuk delapan mata pelajaran yang diujikan secara nasional.

Tidak ada protes mengenai soal yang terlalu sulit. Tidak ada cerita angka ketidaklulusan yang begitu tinggi. Tidak ada kesulitan pendistribusian soal ujian. Tidak ada demo murid apalagi guru.

Kalau dibilang itu karena represi penguasa, saya kira tidak. Karena kalau begitu, sama saja bilang jutaan siswa di masa Orde Baru cuma siswa yang lulus “jadi-jadian”. Itu sebenarnya karena sistem yang mampu berjalan otomatis sehingga tidak ada keluhan.

Saya bukan pakar atau praktisi pendidikan formal. Hanya saja saya yakin para orangtua dan murid cuma ingin ketenangan, bukan ketegangan. Kalau dulu di masa Orde Baru ada seloroh “ganti menteri ganti kurikulum”, kini malah yang terjadi “satu menteri berkali-kali ganti kurikulum”. Beberapa teman saya yang berprofesi sebagai guru pun kebingungan. Apalagi orangtua yang bisa jadi sudah nggak mudeng lagi apa yang dipelajari anaknya di sekolah.

Rasanya cuma di Indonesia birokrasi malah mempersulit dan memperumit. Padahal, mustinya justru untuk melayani rakyat.

Semoga saja adik-adik yang menghadapi UN 14-16 April 2014 ini dikuatkan dan dilancarkan. Sehingga bisa meraih masa depan gemilang. Untuk Indonesia yang lebih baik.

Ilustrasi: kejarpaket.com