Kata “ustadz” sering kita dengar di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Konotasi artinya adalah “ahli agama”. Padahal, kata ini sejatinya berarti “guru” (dalam bahasa Arab tanpa “z”).
Dalam hal ini, seringkali pula kata ini disalahgunakan oleh mereka-mereka yang ingin mencitrakan dirinya sedemikian rupa. Kita tahu dari pemberitaan terutama infotainment, bahwa ada orang yang mengaku ustadz tapi melakukan berbagai tindakan maksiat. Ingat lho, maksiat itu bukan sekedar terkait lawan jenis seperti zina belaka, tapi juga segala tindakan yang dilarang agama Islam. Karena kata “ustadz” dan “maksiat” adalah jelas kosa kata khas agama Islam, saya tidak bicara soal agama lain di sini.
Saya sendiri sedari dulu sangat mewaspadai para “ustadz seleb”. Mereka sebenarnya ada yang ilmu agamanya cetek, cuma seringkali tampil di televisi dan media massa sehingga lebih dikenal masyarakat. Lebih parah lagi, ada yang sebenarnya bukan ustadz, melainkan paranormal atau “ustadz jadi-jadian” saja. Selain Ustadz GB yang sedang heboh, kita harus ingat ada Ustadz SM yang pernah memperkosa istrinya dan diadukan melakukan KDRT. Juga ada Ustadz L yang masih ditahan polisi sejak beberapa tahun lalu karena melakukan penipuan dengan bisnis ala MLM. Saya pun menengarai ada satu ustadz populer lagi yang bisa jadi akan terperosok karena meng-endorse bisnis serupa. Ustadz yang kelakuannya tidak mencerminkan ilmunya juga ada. Di Youtube sempat beredar rekaman Ustadz H dan seorang ustadz lokal yang marah-marah. Sangat tidak elok dicontoh.
Entah mengapa, masyarakat mudah saja percaya pada orang-orang yang terlihat memiliki ilmu agama ini. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak jelas asal-usulnya. Dalam konteks tidak jelas pernah berguru agama di mana. Pengetahuan agamanya pun sebenarnya sebatas melafalkan do’a seperti mantra belaka.
Padahal, kalau mau jeli, banyak sekali guru-guru lain yang lebih mumpuni. Mereka juga terkenal, tapi bukan ‘seleb’. Mereka terkenal karena keilmuannya. Sebutlah seperti Prof. Dr. K.H. Quraish Shihab, Prof. Dr. K.H. Jalaluddin Rahmat, atau Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar.
Satu yang harus digarisbawahi, para ustadz betulan itu “tidak buka praktek”. Mereka bukan paranormal dan tidak memungut bayaran dengan tarif tertentu. Saat berceramah agama pun, mereka kerap kali melakukannya secara pro-bono. Itu karena mereka punya penghasilan dari tempat lain. Sehingga, saat menolong orang lain tidak lagi meminta bayaran dengan tarif luar biasa.
Karena itulah, seyogyanya kita semua lebih waspada. Bahkan ustadz guru ngaji kampung yang tidak narifin jasanya sebenarnya malah lebih memiliki derajat tinggi daripada para ‘ustadz seleb’ itu. Yang terpenting adalah kesesuaian antara kata dan perbuatan. Itu saja.
Ilustrasi: dmaarif.blogspot.com
wahhh terimakasih pak ustadz atas postingannya..
ia memang sih sekarang iotu banyak banget ustdz yang seperti itu, malah kan jadi mempermalukan agama klita sebagai agama islah, kan di sangka agama lain bahwa agama islam tuh seperti itu ya..
oia ustadz bagaimana sih cara membedakn ustadz yang benar-benr faseh ilmunya dan yang tidak?
terimakasih 😉
memangnya jaman dahulu ustadz seperti apa pak?
terimakasih 😉