Masih dalam kaitan pelaksanaan Pemilu legislatif esok hari, saya ingin membahas mengenai apa sebenarnya yang dicari dari “hajatan besar bangsa” itu. Rakyat di negara-negara maju di mana sistemnya sudah berjalan secara otomatis, membuat partisipasi Pemilu rendah. Rakyat menganggap siapa pun pemimpinnya tidak akan terlalu banyak bedanya. Ironisnya, secara bipolar hal ini juga terjadi pada negara yang sama sekali tidak demokratis. Jadi, partisipasi Pemilu yang masih tinggi –dalam konteks lebih dari 50 % warga negara menggunakan hak pilihnya- hanya terjadi di negara-negara menengah atau negara berkembang.
Kenapa bisa begitu?
Karena mereka ingin naik kelas seperti negara maju. Mereka melihat masih ada harapan perbaikan. Sementara negara yang miskin dan terbelakang justru apatis. Rezim penguasa biasanya tidak demokratis karena ingin menggenggam kekuasaan pada tangan mereka sendiri. Oleh karena itu, Pemilu justru tidak penting. Sementara negara maju rakyatnya menganggap individu lebih penting. Waktu untuk mencoblos mereka anggap lebih baik digunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif. Tak heran angka partisipasi pemilih di negara maju hanya berkisar di persentase 30 %.
Di negara maju, tetap saja yang dijual adalah “harapan”, tentunya harapan perbaikan. Seperti halnya Obama saat maju pertama kali sebagai calon presiden pada 2004, ia mengusung slogan singkat “hope”. Meski sudah negara maju, Amerika Serikat tentu saja masih memiliki banyak kekurangan. Salah satu yang berhasil digolkan Obama adalah jaminan pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negaranya yang dikenal sebagai “Obamacare”.
Jelas terlihat bahwa semua partai politik beserta perangkatnya menawarkan janji berupa harapan perbaikan. Di negara berkembang, masih banyak yang bisa dijanjikan. Sementara, di negara maju, memang sudah tak banyak lagi yang bisa dijanjikan selain menjaga yang sudah ada agar lebih baik lagi. Sementara di negara berkembang masih banyak yang bahkan belum ada, sebutlah seperti infrastruktur yang belum lagi memadai.
Mengelola harapan perbaikan inilah yang seharusnya jadi perhatian para pimpinan. Antara janji yang dilontarkan saat kampanye dengan pelaksanaan saat berkuasa nantinya haruslah seimbang. Masalahnya, bagi saya yang berpendidikan filsafat, ada jurang besar di sana. Janji-janji yang dilontarkan partai politik terutama para juru kampanye yang adalah calon anggota legislatifnya adalah pernyataan yang universal sifatnya. Padahal, andaikata pun terpilih sebagai anggota legislatif sekali pun, peran yang dimainkan bersifat partikular.
Apa contohnya?
Caleg bisa berjanji memakmurkan rakyat, atau janji yang lebih konkret sifatnya, seperti memberikan pelayanan kesehatan atau malah bersifat fisik seperti membangun rumah sakit. Nah, saat dia menjadi anggota parlemen, apakah mungkin mengucurkan anggaran cuma dengan satu tanda tangan dirinya saja? Jelas tidak. Karena anggaran diputuskan dalam komisi, yang terdiri dari banyak anggota lainnya yang berasal dari berbagai parpol. Di samping itu, parpol akan memberikan arahan kepada fraksi mana agenda yang menjadi prioritas. Jadi, andaikata pun ia hendak berniat baik mewujudkan janjinya, jalannya masih panjang. Ia yang cuma berperan partikular harus mampu mewujudkan janji universal tadi.
Inilah yang kerap kali dituding rakyat sebagai ingkar janji. Berbeda dengan pejabat pemerintah yang bisa memiliki wewenang individual karena jabatan yang melekat padanya, anggota legislatif cuma punya wewenang kolegial. Setiap keputusan dewan di semua tingkatan harus diambil secara kolektif.
Karena itu, waspadalah pada “janji-janji surga”. Pilihlah partai politik dan calon anggota legislatif yang integritasnya bisa diverifikasi. Di samping itu, faktor moral dan latar belakang juga penting. Percayakan suara Anda pada mereka yang memang layak dipercaya. Untuk Indonesia yang lebih baik.