Setiap lima tahun sekali, bangsa kita mengadakan ‘hajatan’ besar bernama Pemilihan Umum. Kita harus bangga sebagai orang Indonesia, ajang demokrasi ini merupakan yang terbesar di dunia. Kita menyelenggarakan Pemilu langsung untuk 240 juta orang warga negara, dengan geografis yang negara kepulauan. Rusia, Amerika Serikat, China dan India mungkin besar, tapi mereka negara benua (continental). Jadi, lebih mudah. Lagipula, yang demokratis penuh mungkin hanya Amerika Serikat saja.
Sementara kita, ada desa yang harus ditempuh berjam-jam perjalanan. Tidak hanya dengan berjalan kaki, malah ada yang harus berperahu atau mendaki gunung. Dan itu semua ditempuh cuma demi penegakan demokrasi.
Jelas ada plus-minusnya. Tapi melihat banyaknya lembaga pemantau Pemilu internasional yang berminat mengamati, jelas Pemilu kita merupakan contoh bagi banyak negara lain.
Pemilu merupakan pengejawantahan demokrasi dengan sistem perwakilan. Pemungutan suara rakyat dilakukan langsung untuk memilih perwakilan yang akan mengerjakan tugas-tugas kenegaraan selama lima tahun ke depan. Tidak mungkin negara sebesar kita menerapkan sistem seperti zaman polis atau negara kota Yunani Kuno dahulu.
Satu yang kerap disalahmengerti awam adalah istilah politik. Iwan Fals saja saat dikunjungi Jokowi menyatakan ia tidak tertarik berpolitik. Padahal, setiap warga negara pasti berpolitik. Karena ia selain terlibat dalam Pemilu, juga menggunakan hak untuk keputusan lainnya. Rapat RT saja sudah berpolitik. Padahal, yang dimaksud adalah tidak mau terlibat aktif dalam politik praktis. Dalam konteks tidak menjadi anggota aktif partai politik dengan memiliki kartu anggotanya. Mungkin saja jadi simpatisan, tapi hanya lima tahun sekali.
Inilah yang dalam khazanah ilmu politik dalam kaitan dengan suara Pemilu disebut “swing voters“. Bahasa Indonesianya “massa mengambang”. Mereka cuma terlibat secara pasif saja, kebanyakan 5 tahun sekali.
Karena menjelang Pemilu, saya mengamati dua tulisan saya menjadi “artikel paling banyak dibaca”. Dan keduanya tentang Golput. Kedua artikel itu juga pernah dikutip blog dan situs lain, juga media massa.
Saya tidak pernah menganjurkan Golput atau tidak menggunakan hak pilih. Tapi saya juga mengecam siapa saja yang menakut-nakuti rakyat yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Karena pada dasarnya itu adalah hak, bukan kewajiban. Silahkan mau digunakan atau tidak asal alasannya jelas.
Tapi saya sendiri teringat kembali pada perjuangan penyelenggara Pemilu di pelosok, yang harus menempuh berjam-jam perjalanan cuma untuk mengantarkan logistik Pemilu, untuk kemudian nanti diambil kembali seusai pemungutan suara dilangsungkan. Rakyat di pelosok desa juga harus berjuang untuk sampai ke TPS, menempuh perjalanan jauh yang tak mudah. Sementara saya yang cuma tinggal jalan kaki beberapa menit malah tidak datang, jelas itu ‘manja’ dan tidak menghargai orang lain. Nah, perkara di bilik suara kertasnya mau dicoblos semuanya atau malah dicoret-coret, terserah saja. Bila memang tidak ada yang dianggap bisa mewakili aspirasi kita, silahkan. Itu abstain namanya kalau di sistem demokrasi. Berpendapat untuk tidak berpendapat, memilih untuk tidak memilih. Bagi saya, yang penting adalah tetap menggunakan hak pilih dengan datang ke TPS. Demi Indonesia yang lebih baik. Satu suara saja berarti, dan itu suara kita.