“There is no free lunch”, begitu kata pepatah Barat.
Tapi di sini, kita melihat ada saja makan siang gratis, apalagi di hari Minggu seperti ini. Acara undangan pernikahan menjadi ajang untuk “makan siang gratis”. Demikian pula sehari-hari bisa didapatkan di seminar atau keriaan lain. Saat kampanye Pemilu juga ada pembagian makanan bagi peserta yang hadir.
Berarti Indonesia lebih hebat dong daripada negara-negara Barat. Hehehe.
Tentu saja maksudnya bukan itu. Pepatah itu cuma perumpamaan. Maksudnya adalah “untuk mendapatkan hasil, kita harus berusaha”. Kita tidak bisa terus-menerus mengemis untuk mendapatkan sedekah untuk makan kalau mau dihargai sebagai manusia. Karena yang mau “gratisan” terus itu sama saja dengan pengemis.
Itulah situasi yang seringkali kurang dipahami banyak orang. Negeri kita yang katanya “gemah ripah loh jinawi” ini punya ekses negatif: kemanjaan dan kemalasan.
Banyak orang yang masih mendapatkan “makan siang gratis” dari mereka yang berada di “jaring pengaman sosial”-nya. Para “bread winner” inilah yang sibuk bekerja keras mencari nafkah, tapi kemudian dihabiskan begitu saja oleh orang-orang yang berada di bawah naungannya.
Saat Pemilu seperti ini, terlihat sekali kalau banyak orang yang sebenarnya “pengangguran terselubung”. Di siang hari saat waktu bekerja, mereka malah memenuhi lapangan atau tempat kampanye lain. Apa imbalannya? Cuma “makan siang gratis” saja. Ada yang memang berupa konsumsi makanan, uang transport plus atribut kampanye seperti kaos.
Saya pikir inilah yang jadi “Pe-eR” besar pemimpin negara kita di masa datang. Kenapa warga negara yang jumlahnya banyak ini tidak diberdayagunakan lebih baik? Sementara konon pendapatan per kapita kita sudah US$ 3,000 per tahun. Tapi, ini sebenarnya mengelompok pada masyarakat urban di kota-kota besar saja. Tetap saja hukum Paretho berlaku: 20 % populasi menguasai 80 % pendapatan.
Sebenarnya ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga. Ajarkan anak-anak kita bagaimana proses orangtuanya mendapatkan makanan yang tersaji di meja. Ajak ke pasar, lebih baik pasar tradisional agar ia bisa melihat pedagang dan kuli angkut yang bersusah-payah bekerja. Terangkan arti uang agar kelak ia menghargai uang. Ajarkan juga mensyukuri nikmat dan menghargai orang lain. Ajarkan bagaimana peduli pada orang lain terutama yang fakir dan miskin.
Apabila tiap orangtua mengajarkan konsep “tidak ada makan siang gratis”, niscaya perlahan akan tumbuh generasi manusia Indonesia yang produktif. Mereka yang siap bekerja keras dan cerdas bagi diri dan keluarganya. Dan di sisi lain mereka juga mampu menghargai orang lain dan peduli pada sesama.
Ilustrasi: eagnews.org
Memang benar jika masyarakat indonesia seperti ini terus maka negaranya tidak pernah maju. tapi kalo sesekali boleh lah kan ke undangan juga untuk bersosialisasi bukan cuma makan gratis. hehehe