Pendapat & Fatwa Agama

fatwa ulamaAgama bagi kebanyakan orang Indonesia menempati posisi yang unik. Secara kenegaraan, agama menempati posisi penting. Karena secara implisit termaktub dalam sila pertama Pancasila, dasar negara kita. Akan tetapi, negara tidak berdasarkan agama. Sehingga, secara substansial tindakan apa pun untuk menghukum orang atas dasar tidak melaksanakan atau malah tidak beragama sekali pun tidak berdasar. Maka, saya termasuk orang yang menentang tindakan kekerasan atas nama agama. Kalau ini, dasarnya tiga sekaligus. Satu, agama bukanlah hal yang secara hukum negara bisa dijadikan alasan menghukum orang. Kedua, kelompok yang menghukum pihak lain itu bukanlah penegak hukum. Dan ketiga, kekerasan atas nama apapun seharusnya ditentang.

Nah, sehari-hari, agama pun diaplikasikan dengan cara yang unik oleh individu anggota masyarakat. Karena tidak ada keewajiban melaksanakan ajaran agama, maka banyak yang agamanya sebatas identitas saja. Jadinya, “agama KTP”. Muslim tapi tak pernah shalat, Nasrani tapi tak pernah ke gereja, Hindu tapi tak pernah ke pura atau Buddha tapi tak pernah ke vihara. Atau malah sekedar ‘kosmetik’ namun tidak meresap dalam hati, pikiran dan jiwanya. Maka, kita seringkali melihat orang yang rajin beribadah atau malah berilmu agama tinggi tapi tindakan dan tingkah lakunya malah bertentangan dengan agama. Contoh paling nyatanya ya korupsi atau maksiat dengan lawan jenis yang bukan pasangan sahnya.

Saya pun seringkali geleng-geleng kepala saat mendengarkan khotbah di masjid atau ceramah agama di televisi. Karena para pendakwah itu, lelaki maupun perempuan, seringkali mengeluarkan pendapat agama seenaknya. Kalau untuk perkara sederhana seperti cara beribadah sih tidak masalah. Akan tetapi seringkali mereka berfatwa di depan jama’ah. Padahal, mereka jelas tidak berhak melakukan itu.

Apa sih bedanya?

Pendapat atau opini itu adalah sikap dan pernyataan yang menunjukkan posisi seseorang terhadap suatu kondisi atau situasi. Dia bisa berubah sesuai ruang dan waktu. Bahkan ada istilah “rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala bisa berbeda”. Artinya, pendapat manusia bisa beraneka ragam. Dan itu seperti selera. Sebenarnya tak perlu diperdebatkan. Beda pendapat itu wajar saja kok.

Fatwa itu semacam keputusan yang bisa dijadikan dalil atau landasan hukum di bidang agama. Ini seperti keputusan pengadilan yang mengikat harus dilaksanakan (inkraacht) oleh siapa pun terutama yang terlibat dalam perkara. Karena sifatnya, maka fatwa hanya bisa dikeluarkan sebuah lembaga resmi keagamaan yang memiliki para pakar agama atau ulama yang memiliki kompetensi memadai dan syarat yang dipenuhi. Sebuah fatwa sebagai dasar hukum agama dalam Islam merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits, yang disebut ijma’ (arti harfiahnya “terobosan”, maksudnya adalah “keputusan” atau fatwa) ulama.

Contoh lembaga resmi di negara kita adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama) atau Muhammadiyah. Nah, yang seringkali ‘dilangkahi’ adalah kriteria ulama yang berhak membuat fatwa. Seperti contoh ilustrasi di atas, jelas terlihat ada ulama yang mengeluarkan fatwa tertulis. Apa sih kriteria ulama yang boleh dan berhak membuat fatwa? Pertama, dia harus paham agama dalam tingkat mahir (advance). Ia  juga harus memiliki kemampuan bahasa Arab di tingkat mahir dan mampu merujuk pendapat ulama terdahulu terutama imam mazhab. Dan yang terpenting, ia sudah harus menulis kitab tafsir Al-Qur’annya sendiri. Syarat terakhir ini berarti ia harus sudah mufassir. Tidak boleh sebuah fatwa dikeluarkan asal nyablak.

Melihat kriterianya, para pengkhotbah terutama di televisi seharusnya tidak berhak ber-fatwaApa contohnya? Sederhana, saat ditanya boleh-tidak atau halal-haramnya suatu perkara agama, itu sudah fatwa. Konkretnya begini, misalnya ada yang bertanya, “Pak ustadz, bolehkah kita makan sambil berdiri?” Jawabannya sudah fatwaKarena itu menjawabnya seharusnya tidak boleh langsung ya-tidak atau boleh-tidak boleh atau halal-haram. Ia harus merujuk pendapat ulama tertentu dan kalau memungkinkan dalil tepatnya dan dari kitab apa. Jadi, jawaban sang ustadz seharusnya seperti, “Menurut Imam A dalam kitabnya B, perkara yang anda tanyakan itu hukumnya halal.”

Tapi, kalau pendapat agama, boleh-boleh saja. Apa contohnya? Sederhana, harus didahului kata “menurut saya” atau IMHO (In My Humble Opinion), yang artinya “saya bicara ini belum tentu benar lho ya…” Misalnya kalau kita ditanya teman, “Masjid yang pengajiannya ramai di mana ya?” Maka, tentu kita bisa menjawabnya. Tapi, kalau ditanya perkara agama, contohnya “Menurut kamu, memberi pengemis di jalan itu boleh tidak?” Jawabannya harus hati-hati. Kalau mau aman, mengelaklah. Jawab saja tidak tahu atau saya tidak bisa menjawabnya. Tapi boleh juga begini, “Kalau saya sih memilih memberi kepada rumah ibadah saja daripada mereka, tapi saya tidak tahu boleh-tidaknya secara agama.”

Semoga makin jelas. Kalau Anda Islam, tolong sebarkan dan camkan pengertian ini. Saya sendiri juga tidak berani ber-fatwa kok. Hati-hatilah karena setiap ucapan dan tindakan kita direkam malaikat. Anda berani menetapkan hukum padahal bukan hakim, jelas sebuah kesalahan. Dosa!

Ilustrasi: www.allamazameerakhtar.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s