Ini bukan nama caleg apalagi partai, melainkan akronim dari Hari Marketing Indonesia. Kemarin, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu meresmikan hari jadinya yang ditetapkan tiap 1 April. Meski merupakan hari yang diharapkan merupakan pembangkit semangat, fakta menunjukkan sebaliknya.
Menurut CEO Frontier Consulting Group Handi Irawan D. sebagai pemrakarasa Hamari, berdasarkan survei terhadap 2.000 merek top di dalam negeri, sebagian besar merek lokal (local brand) mengalami penurunan pangsa pasar setiap tahunnya. Merek lokal di sini pengertiannya adalah merek yang dipasarkan di daerah tertentu saja, bukan secara nasional. Menurut Handi, kebanyakan merek lokal lebih berfokus pada aspek produksi, transaksi, dan merek itu sendiri. Aspek yang diabaikan menurutnya adalah pemasaran yang disebabkan rendahnya kualitas SDM. Pemiliknya sendiri kurang memahami manfaat pemasaran (marketing) dalam mendongkrak produk menjadi lebih bernilai dan bermanfaat.
Di sinilah saya mengamati memang di kalangan Usaha Mikro-Kecil masalah ini seperti “lingkaran setan”. Bak analogi dilematis paradoksal: “Mana lebih dulu, telur atau ayam?” Apakah yang lebih penting menyediakan produk berkualitas atau pemasaran yang bagus lebih dahulu?
Jawaban saya: “Jangan taruh telur di satu keranjang”.
Apa artinya? Kalau kita punya modal, jangan tanamkan di satu tempat. Termasuk pula saat berusaha. Modal termasuk uang, tenaga, pikiran, keahlian dan waktu harus dibagi-bagi. Produk terlalu bagus pasti akan membuat mutu menjadi tinggi, tapi resikonya waktu pembuatan lama dan biaya produksi tinggi. Saran saya, di tahap awal, buatlah produk yang biasa saja, tapi punya nilai pembeda (uniqueness) yang tinggi. Lalu pasarkan di segmen pasar yang sempit dengan target market jelas. STP (Segmentation-Targetting-Positioning)-nya harus clear and distinct. Upaya marketing-nya jangan lebay sehingga mengesankan bullshit.
Saya melihat, inilah kesalahan para pebisnis pemula. Bahasa marketing yang digunakan sangat meniru anjuran para motivator. Iya sih, ATM (Amati-Tiru-Modifikasi), tapi ya nggak segitunya juga. Misalnya, bahasa marketing ala motivator adalah memberikan gimmick (pancingan menarik berupa bonus). Misalnya beli satu dapat tiga. Ini terkesan mudah, tapi kalau tidak hati-hati bisa menggerus modal. Demikian pula memberikan janji berlebihan yang kemudian tidak bisa ditepati akan merusak kepercayaan konsumen.
Padahal, pelayanan pelanggan (customer service) adalah aspek yang sangat penting. Pelanggan di tahap sangat awal seringkali bukan membeli karena “apa yang ditawarkan”, melainkan karena “siapa yang menawarkan”. Kedekatan dengan pemilik seringkali menjadi alasan untuk ‘mencoba’. Tapi ini saja tidak cukup. Karena ini kemudian harus dikonversi menjadi loyal customer (pelanggan setia) yang melakukan repetitive buying (pembelian berulang).
Memang, masih perlu begitu banyak upaya pemberdayaan untuk membuat merek lokal Berjaya di negeri sendiri. Bukan hanya pemerintah, tapi juga perlu uluran tangan perusahaan besar dan pebisnis mapan agar membantu pengusaha di level lebih bawah bisa bertahan. Semoga sinergi positif bisa terjalin dengan adanya “Hamari”.
Data dalam dua paragraf teratas tulisan ini dikutip dari berita berjudul “Merek Lokal Susah Berjaya” di harian Koran Sindo,edisi Rabu, 2 April 2014. p. 16.
Ilustrasi: