Kita seringkali mengaburkan batas antara fakta dan opini. Pendidikan dasar jurnalis sangat ketat soal ini. Sayangnya, hanya jurnalis lulusan koran besar saja yang taat asas. Di Indonesia, saya mencermati hanya yang pernah bekerja di grup Tempo dan grup Kompas saja yang mampu membedakan fakta dan opini. Sementara media lainnya cenderung mencampuradukkannya bak gado-gado.
Ketika sebuah berita disajikan ke masyarakat sudah berupa gado-gado seperti itu, rasanya pun jadi tercampur. Ingat, konsumen berita kita tidak semua berpendidikan tinggi. Maka, bisa jadi tercampurnya dua hal itu membuat kebingungan dan penyesatan.
Ada satu problema klasik filsafat, bahwa fakta pun memiliki banyak versi. Apalagi yang sifatnya kontroversial atau dilematik. Termasuk bila itu adalah fakta berupa konflik antara dua pihak atau lebih. Contoh paling nyata adalah perang. Selalu ada fakta-fakta yang bertentangan. Misalnya saja jumlah korban atau kerugian. Karena ini sudah masuk ranah propaganda, maka faktanya bias.
Fakta paling baik adalah dari pengamat yang netral. Mereka tidak terlibat konflik seperti peneliti atau sejarawan. Tapi ini pun harus diperhatikan metodologinya.
Seperti saat ini, di musim kampanye, tampak ramai aneka jenis survei. Fakta yang tersaji di sana bisa jadi bias kalau metodologinya keliru. Responden juga menentukan. Saya tertawa saat ada yang menyatakan survei internal suatu kelompok keagamaan menyatakan pemimpin mereka dijagokan sebagai presiden, sementara para kandidat presiden lain yang jelas lebih populer malah tidak mendapatkan suara. Tentu saja, karena respondennya kalangan internal. Dari segi metodologi itu keliru besar.
Fakta itu sebenarnya tidak pernah netral. Karena ia sudah mengandung sudut pandang atau perspektif pihak yang mengamati kejadian. Kejadian-lah yang netral tanpa makna. Begitu sudah diberi ‘bumbu’ perspektif pengamat, maka fakta-lah yang tercipta.
Tapi ini sebenarnya masih bisa dipegang selama ada data kuat dan metodologinya sahih. Berbeda dengan opini, kita harus tahu bahwa isi kepala manusia berbeda-beda. Opini itu pendapat pribadi yang belum tentu benar. Walau, mereka yang memiliki kompetensi tentu lebih berhak beropini tentang bidang keahliannya dan lebih layak dipercaya.
Opini menjadi sebuah kebenaran manakala ia memang sesuai dengan fakta. Akan tetapi, ia tetap opini. Tak bisa dipaksakan kepada orang lain yang tidak sependapat. Contoh paling sederhana adalah tindakan pelanggaran yang dilakukan seorang pemain sepakbola. Ada fakta pemain terjatuh karena tackling, tapi apakah itu berarti pelanggaran? Apalagi kalau ada hukuman kartu kuning atau merah, bisa berarti ada perdebatan lagi. Karena dua pihak yang bertanding bisa jadi punya opini berbeda.
Opini, haruslah dipahami sebagai sebuah hak setiap orang. Dan tak ada hak pada siapa pun untuk memaksakan opini atau pendapatnya. Maka, kita harus belajar lebih baik lagi mengenali mana fakta dan mana opini. Ini agar masyarakat kita makin dewasa, terutama dalam berpolitik.
ihhhh betul banget sist..
saya setuju dengan artikelnya (y)
terimakasih 😉