Setiap kejadian selalu memiliki lebih dari satu perspektif. Orang yang mengalami kejadian tersebut saja bisa berbeda menafsirkannya bila ada lebih dari satu. Bahkan orang yang sama bisa mengalami pelaburan pikiran atau penafsiran ulang perspektif seiring berjalannya waktu. Makin berjarak waktu seseorang dengan suatu kejadian, biasanya makin pudar kohesi antara mereka. Demikian pula dengan tingkat keterlibatan. Saksi mata di lokasi kejadian tentu lebih jauh keterlibatannya dibandingkan dengan para pelaku dan korban. Apalagi para pengamat yang hanya membaca, mendengar atau melihat dari orang lain atau media massa.
Para peminat filsafat tentu akan tahu bahwa para filsuf pun seringkali berubah pemikirannya. Biasanya, saat mereka muda pemikiran mereka begitu radikal dan lebih bernuansa ‘pemberontakan’. Sementara saat sudah tua, mereka cenderung lebih bijak dan santun. Contoh paling sering dipaparkan adalah Karl Marx yang dibagi menjadi Marx muda dan Marx tua. Soekarno pun pemikirannya terbagi menjadi masa-masa kehidupan. Periode saat ia dibuang ke Boven Digul dan periode saat ia ditahan di Banceuy berbeda.
Itulah yang dinamakan konteks. Content selalu terkait context, ia tidak pernah berdiri sendiri. Karena itu, dalam memahami ucapan atau tulisan seseorang, harus diperhatikan situasi saat hal itu dilontarkan. Inilah yang dalam Islam dengan hati-hati diterapkan saat mengkaji landasan agama terutama Al-Qur’an dan Hadits. Kalau dalam ilmu pengkajian teks yang merupakan cabang filsafat, dipelajari dalam hermeneutika. Awalnya, hermeneutika memang semacam ilmu tafsir kitab suci terutama Bible.
Apabila suatu kejadian sarat muatan emosional bagi yang terlibat, maka sebaiknya diambil jarak lebih dahulu. Karena penafsiran seketika bisa jadi akan bias. Emosi akan mengaburkan fakta. Karena fakta bersifat rasional, sedangkan emosi irrasional.
Ketika emosi dibiarkan berkuasa, maka bisa jadi akan ada kejadian yang tidak diinginkan. Kalau percaya pada ajaran agama, di situlah pintu masuk setan. Justru rasio harus dikedepankan.
Cermatilah pemberitaan media massa soal hilangnya pesawat Malaysian Airlines (MAS) MH-370. Beritanya sudah campur-aduk antara fakta dan emosi ditambah praduga dan prasangka. Media massa mengangkat aneka sisi kejadian tersebut. Kita yang tidak terlibat langsung saja bisa merasakan emosi keluarga para korban. Padahal, fakta dari kejadiannya saja masih tidak jelas. Kita hanya tahu satu hal sebenarnya: pesawat yang berangkat dari Kuala Lumpur itu tak pernah sampai di tujuannya di Beijing. Tapi apa yang terjadi sebenarnya, gelap. Kita hanya tahu serpihan fakta saja sebenarnya, tak cukup untuk membuat asumsi, maka yang ada hanya prediksi.
Karena itu, dalam keseharian kita, apabila kita menghadapi suatu kejadian, cobalah kumpulkan data dan fakta sebanyak mungkin. Jangan terburu mengambil kesimpulan. Ini serupa dengan membedakan antara fakta dan opini, walau ada juga perbedaannya (kita akan bahas ini besok). Apabila suatu kejadian memerlukan reaksi atau kontra reaksi dari kita, rencanakan dengan kepala dingin, bukan dengan hati yang panas. Maka, niscaya hasilnya akan memuaskan.
Foto: www.ionio.gr