Sewaktu saya masih amat kecil, saya memandangi segala hal di sekitar saya. Saya ingat, waktu itu diajak naik mobil Toyota Corolla 1977 milik ayah dan melintasi kawasan Senayan. Saat itu, usia saya sekitar 8 tahun, dan saya berpikir sesuatu yang saya baru tahu bersifat filosofis saat dewasa. Sambil melihat pepohonan di kanan-kiri jalan, saya berpikir: “Benda apakah yang paling kuat?” Saat melihat pohon, saya berpikir pohon bisa ditebang dengan kapak. Lalu saya berpikir besi, tapi besi bisa lumer oleh api. Api bisa padam oleh air. Air bisa menguap justru karena api. Dan seterusnya…
Saya lantas memikirkan satu hal yang tak mungkin bisa dikalahkan: Tuhan. Saat saya kuliah filsafat, saya baru tahu inilah salah satu jalan menuju Tuhan yang digagas St. Thomas Aquinas dengan “quinque viae“-nya.
Manusia seringkali merasa dirinya “kuat” karena atribusi yang melekat padanya. Ia mungkin kuat secara fisik bak atlet binaragawan. Bisa juga “kuat” secara finansial, “kuat” karena terkenal dan populer, “kuat” karena tampan atau cantik, “kuat” karena pandai atau cerdas secara intelektual, “kuat” karena merasa memiliki teman banyak, “kuat” karena punya berbagai hal yang orang lain tak punya.
Tapi, cobalah pikirkan. Semua itu bisa disapu dalam sepersekian detik. Bak tsunami menyapu daratan. Kekayaan, teman, posisi dan status sosial bisa hilang seketika saat ditangkap aparat penegak hukum. Lihatlah di televisi, mereka yang ditangkap KPK bukankah orang-orang yang semula kita duga “kuat”?
Kuat bagi manusia sebenarnya lebih ke dalam ketahanan atau kemampuan bertahan. Kita seringkali melihat bahwa orang yang kita duga “kuat” sebenarnya tidak. Tayangan reality-show seperti “Survivor” memperlihatkan juaranya bukanlah mereka yang paling “kuat” secara fisik, pengalaman atau kecerdasan. Justru juaranya adalah yang paling cerdik dan mampu beradaptasi. “Survival of the fittest”-nya Herbert Spencer -yang kemudian diadopsi Charles Darwin- sebenarnya bisa dibaca: “Mereka yang bertahan adalah yang paling mampu bertahan”. Bukan yang paling “kuat”, tapi yang paling mampu beradaptasi.
Orang seringkali menderita karena penyakit fisik. Padahal, penyakit kejiwaan justru lebih berat. Terutama sekali karena tak terlihat. Karena itulah banyak yang terkejut saat Michael Jackson atau Whitney Houston meninggal dunia. Apa pun pemicunya, mereka sebenarnya menderita penyakit kejiwaan yaitu depresi. Berarti, jiwa atau mental mereka tidak “kuat”.
Kekuatan mental adalah kekuatan menahan kekalutan di dalam kepala dan hati. Justru di sinilah kehebatan seseorang diuji. Nabi Muhammad SAW sendiri menyebutkan jihad dan perang terbesar adalah melawan diri sendiri, melawan hawa nafsu. Dan itu bukan secara fisik, melainkan secara mental, kejiwaan dan moral.
Ikhlas itu tidak membalas walau mampu membalas. Ikhlas itu tidak menzalimi walau dizalimi. Ikhlas itu mendo’akan orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Ikhlas itu percaya bahwa apa pun yang terjadi pada kita adalah atas sepengetahuan Tuhan. Ikhlas itu berprasangka baik kepada Tuhan.
Justru orang ikhlas itulah orang yang kuat. Mereka yang mampu menunjukkan otak harus lebih berkuasa daripada emosi dan otot.
Semoga Tuhan memberkati kita yang berusaha menjadi “kuat”.
Foto: funnyjunk.com
betul banget saya setuju dengn pendapat ada, tidak ada yang mampumelebihi kekutn ikhlas..
karna ikhlaas datangnya dari hati/sanubari kit sendiri gan..
aku seuka dengan pendaptnya 😉
terimakasih
itu yang paling gede serem amat gan..boleh tahu berat badannya berapa pons? terimakasih 😉