Kacang merupakan jenis panganan yang kaya protein nabati. Tapi bukan kacang dalam ilustrasi foto di atas yang saya hendak bahas. Melainkan istilah ‘pelesetan’ atau bahasa slang yang berarti tidak diacuhkan. Kita sering mendengarnya diberi imbuhan “di” dan “in” sehingga menjadi “dikacangin”.
Istilah ini memang menyebalkan saat terjadi, karena kita sebagai pihak yang “dikacangin” berarti tidak dianggap. Adanya kita dengan tidak adanya kita tidak menjadi pertimbangan. Seringkali, ini terjadi karena kita dianggap nggak lepel dengan orang-orang yang “ngacangin” tadi. Bisa jadi karena kita dipandang kurang pintar, kurang bagus secara fisik, kurang tinggi status sosialnya, atau kurang-kurang yang lain. Atau bisa juga isi atau muatan yang kita bawa atau bicarakan tidak dipandang penting. Intinya sih, dipandang sebelah mata.
Kacang kedua merupakan akronim yang saya buat sendiri: ” kakehan cangkem”. Ini merupakan bahasa Jawa yang artinya serupa dengan akronim NATO yaitu “No Action Talk Only”. Arti harfiahnya sih “terlalu banyak bicara”. Ini merupakan perilaku negatif yang seringkali saya temui. Entah mengapa, orang-orang semacam ini seringkali justru berkumpul dengan sesamanya. Akibatnya jadi seperti “klub omdo” (omong doang). Tentu ini biasanya disertai bumbu-bumbu penyedap, bak gado-gado berbumbu kacang. Sayangnya, bumbu ini bukannya membuat sedap, tapi malah jadi “ngeri-ngeri sedap” (meminjam istilah Sutan Bhatoegana).
Kenapa bisa begitu? Karena orang yang “kacang” biasanya akan terus bicara hingga berbual-bual mulutnya. Ia terus mengarang cerita berbumbu yang makin lama bumbunya malah lebih banyak daripada makanan utamanya. Jadi, kalau misalnya ada sate, bumbu kacangnya satu piring sendiri sementara satenya cuma satu tusuk saja.
Orang yang hanya bicara, cuma akan membuat orang lain mengernyit. Dan tentunya menunggu yang bersangkutan merealisasikan pembicaraannya itu. Apalagi kalau terkait janji seperti yang dilontarkan para juru kampanye dan calon anggota legislatif. Janji-janji yang cuma “kacang” itu kini laku keras di mana-mana. Benar-benar seperti kacang goreng. Tapi laku kerasnya bukan karena pasar menyukainya, justru karena diobral murah. Begitu banyak “kacang” di mana-mana, sehingga kita sebagai rakyat mungkin cuma akan “ngacangin saja.
Bleh…
Foto ilustrasi: infopenyakitdalam.com