Profesi hakim adalah profesi mulia, tapi sekaligus ‘mengerikan’. Itu karena ia bisa menentukan nasib seseorang. Seorang hakim bisa memutuskan seseorang bersalah atau tidak. Palu yang diketukkannya bisa mengubah nasib seseorang, bahkan mengakhiri hidupnya. Di abad pertengahan, seringkali profesi hakim tertinggi juga dirangkap oleh raja. Sehingga, raja memiliki kekuasaan yang sangat besar karena seringkali ia juga pemimpin agama.
Hakim mengadili sengketa yang memerlukan putusan final. Karena pihak yang bersengketa biasanya tak mau saling mengalah. Semua merasa benar. Semua merasa baik. Semua ingin menang.
Dalam sebuah putusan, sayangnya harus ada yang menang dan kalah. Bedanya dengan kompetisi dimana terlihat lebih fair karena pemenang mengungguli peserta lain, dalam pengadilan pihak yang kalah biasanya tidak puas. Mereka acapkali merasa dicurangi atau diperlakukan tidak adil.
Di sinilah kita tahu bahwa Maha Adil itu adalah sifat Tuhan. Celakanya, manusia seringkali mengambil sifat Tuhan yang lain, yaitu Maha Penghukum. Padahal, sebagai hakim tidak hanya asal menghukum saja, tapi juga harus adil. Sulitnya, adil itu seringkali harus mengedepankan bukti dan saksi secara positif. Dan celakanya, itu bisa direkayasa. Bahkan, andaikata hakimnya bersih dan jujur sehingga tak bisa menerima suap, proses lain bisa ditelikung oleh mafia peradilan.
Itu kalau bicara hakim dan hukum di skala institusi. Tapi sadarkah kita bahwa setiap hari kita sebenarnya selalu menjadi “hakim”? Kita selalu menghakimi sesuatu. Saat memutuskan ya atau tidak terhadap suatu pilihan saja, kita pasti melakukan penghakiman. Mungkin kata bahasa Inggris “judgment” lebih mengena di sini.
Saat bertemu seseorang yang baru dikenal, dalam beberapa detik kita akan melakukan penilaian yang bisa berujung pada penghakiman. Sulit menemui orang yang tidak berprasangka terhadap orang lain di saat pertama, kecuali orang yang benar-benar tulus dan terlatih ikhlas.
Saya sendiri masih terus belajar soal ini. Karena terus-terang saya senang menilai dan menghakimi orang lain. Sementara di sisi lain saya sendiri tidak suka dinilai dan dihakimi. Ini paradoks. Dan saya tidak berlaku adil di sini. Semoga saja hidup terus mendewasakan kita semua. Karena dewasa itu pilihan.