Mau Jadi Apa Sih?

dream-world-1920x1080

Dunia penuh orang pintar. Dunia penuh orang kaya. Tapi tahukah Anda, tidak banyak orang yang tahu tujuan hidupnya. Kalau ditanyakan pertanyaan seperti di atas kepada seorang anak, jawabannya adalah profesi. Sering kita menyebutnya sebagai “cita-cita”. Katakanlah menjadi polisi, dokter, insinyur, artis, dan sebagainya.

Tapi, bagaimana kalau pertanyaan yang sama kita tanyakan kepada orang dewasa, terutama yang sudah matang secara usia dan sudah mapan secara finansial? Kalau kita sudah berprofesi sebagai seorang bankir, apakah yang masih kita cari? Kalau kita sudah sukses dalam hidup, masih adakah keinginan kita selain hal-hal yang konsumtif?

Saya mengamati, banyak sekali orang yang ‘kekeringan’ dan ‘dahaga’. Di komunitas usahawan yang saya ikuti, fenomena itu begitu terlihat. Ada yang ‘berpura-pura sukses’, dan ada yang sudah ‘sukses betulan’, tapi terlihat masih galau. Apa indikasinya? Komunikasi yang dilakukan. Apalagi kalau di perbincangan, baik lisan secara tatap-muka atau di forum melalui group-group yang ada. Sedangkan melalui tulisan saja hal itu terlihat jelas.

Eh, tapi bagi orang seperti saya ding. Mungkin bagi orang lain tidak sejelas itu.

Kenapa bagi orang seperti saya? Karena profesi dan pengalaman saya menuntut saya untuk melakukan mapping dan profiling manusia secara cepat. Cuma dengan komunikasi, saya harus mampu ‘membaca’ lawan komunikasi saya. Kata ‘lawan’ bukan berarti ‘musuh’, melainkan mereka yang ‘di ujung sana’ atau ‘di sisi lain’ diri kita saat berkomunikasi. Ini karena saya praktisi SDM & Komunikasi.

Saya terus-terang heran, kenapa ada orang yang secara kasat mata sudah punya uang banyak masih terlihat belum ‘penuh’. Sementara yang saya duga belum mapan secara finansial juga terlihat tidak perlu bantuan. Ini “dunia orang dewasa”. Aturan standarnya adalah kita tidak ikut campur dunia kecil orang lain (baca: urusan orang) kalau tidak diundang. Bahkan andaikata diundang pun, kita masih bisa menolak.

Contoh sederhana. Ada beberapa usahawan yang sebenarnya bisa dibilang sukses untuk ukuran kelas menengah. Ia berpendidikan tinggi, pernah bekerja di perusahaan besar, dan memutuskan membangun usaha sendiri. Nah, setelah beberapa tahun usahanya ‘auto pilot’ dan cashflow-nya lancar, ia terlihat gelisah lagi. Tulisan-tulisannya di forum internal menunjukkan minat menjadi seorang motivator dan konsultan. Wait a minute, apa yang salah dengan bisnisnya? Tidak ada. Tapi yang salah adalah di dalam dirinya. Pertanyaan “mau jadi apa sih?” pasti tak lagi bisa dijawabnya dengan mudah. Dengan menjadi seorang boss, ia memiliki banyak waktu luang. Maka, jadilah tulisannya ngalor-ngidul membahas berbagai hal yang mustinya jadi wilayah pekerjaan motivator atau konsultan. Contohnya ia membahas kasus mengenai kesuksesan seorang tokoh bisnis di luar negeri. Di komunitas itu, tampaknya hal tersebut dianggap wajar.

Tapi sebenarnya tidak.

Saya ambil contoh Bapak saya. Beliau bukan seorang dokter dan tak pernah menempuh pendidikan kesehatan apa pun. Tapi, berkat iseng-iseng otodidak, beliau menguasai beberapa aspek soal obat. Misalnya kalau sakit apa obatnya apa. Bahkan beliau bisa membuat resep! Tentu ini salah. Dan lebih salah lagi kalau beliau merasa ‘sok tahu’ soal dunia kedokteran atau kesehatan lantas menulis artikel di media soal ini .

Saya sendiri gelisah saat ditanyakan pertanyaan tadi. Apalagi setelah dewasa, rasanya segala impian di masa kecil pudar.

Saya selalu menghindari bicara atau menulis soal yang saya tidak ahli. Dan sekarang makin menghindar lagi menyadari banyaknya ‘orang pintar’ di luar sana. Hari Selasa kemarin saja, saat seminar soal tsunami, saya hanya diam mendengarkan di dalam ruangan, tak bertanya atau berkomentar. Juga saat rekan semeja saya mengajak bicara soal hilangnya pesawat Malaysian Air Lines, saya mengelak untuk membahas walau saya jelas membaca media massa. Kenapa? Saya bukan ahlinya.

Saya ingat agama saya pun sebenarnya tegas melarang hal ini. Anjuran Nabi SAW adalah: “Bicaralah yang baik atau diam.” Konteksnya bisa diartikan kalau tidak mengerti atau ahli, jangan berkomentar. Maka, sekarang saya memilih lebih banyak diam. Tapi bukan berarti bengong.

Karena insya ALLAH justru sedang ada sesuatu yang kami coba gagas untuk menjawab pertanyaan tadi. Mengingat masih banyaknya ‘kekosongan’ yang kami rasakan di jiwa manusia Indonesia. Semoga bisa segera terwujud. Karena jujur saja, seumur hidup saya, baru sekarang saya menemukan orang yang mengerti arti kegelisahan yang saya rasakan. Dan saya bukan saja diberikan 1 orang yang mengerti, tapi malah 2 orang! Alhamdulillahirabbil’alamiin.

Ilustrasi: mrwallpaper.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s