Andaikata boleh menemui dua orang remaja pembunuh temannya (perhatikan, saya tidak menyebut nama mereka), saya cuma mau tanya satu hal: “Apakah kamu sadar pada akibat tindakanmu itu?” Di sini ada dua hal: sadar dan akibat. Di AS, ada yang namanya “Pembelaan Kegilaan”. Kalau seseorang saat melakukan tindakan pelanggaran hukum dalam keadaan tidak sadar dan itu bisa dibuktikan, maka yang bersangkutan tak boleh dikenai hukuman fisik, baik itu penjara ataupun hukuman mati. Terdakwa setelah diputuskan bersalah oleh juri akan dikenai hukuman oleh hakim, ia dikirim ke pusat rehabilitasi kejiwaan atau Rumah Sakit Jiwa.
Di Indonesia, setahu saya klausul ini belum dilegal-formalkan. Bahkan yang melakukan tindakan kriminal di luar kewajaran seperti mutilasi atau membongkar kuburan untuk memakan mayatnya saja tak diberi “keringanan”, alias tetap dipenjara. Kalau Anda masih ingat, ada nama Sumanto di sini.
Satu yang menjadi sorotan saya adalah masalah mental yang disoroti oleh beberapa pihak. Malah, ada yang menjustifikasi kedua remaja itu psikopat. Padahal, tidak semudah itu memberikan penghakiman penyakit kejiwaan. Diagnosanya jauh lebih sulit daripada penyakit fisik. Di sini saya hanya membahas sepintas mengenai hubungan antara mental dan emosional.
Dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), Howard Gardner mengemukakan pentingnya kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI). Ini penting untuk menjelaskan mengapa seringkali manusia tidak mampu mengontrol aspek emosional tindakannya, padahal ia terlihat tidak bermasalah dari luar, malah seringkali sebenarnya ia cerdas intelektualnya. Terlihat dari penggambaran di samping, bahwa makin tinggi EI seseorang, makin mudah ia mengontrol emosinya. Korelasi dengan mental juga cukup erat. Karena orang dengan EI tinggi, berarti mentalnya makin kuat.
Hubungan antara kesadaran pada emosi akan mengkorelasikannya dengan kesadaran pada akibat. Apabila atas pertanyaan di paragraf pertama tadi kedua pelaku tidak sadar (conscious) maka perlu diperiksa apakah ada fungsi otak dan kejiwaannya yang terganggu. Karena sebenarnya secara hukum, orang yang tidak sadar pada perbuatannya tidak bisa dihukum. Tapi, sekali lagi, hukum di Indonesia belum mengadopsi prinsip ini. Orang yang tidak sadar jelas tidak tahu akibat perbuatannya. Persamaannya adalah dengan orang gila. Tapi tidak mudah menjustifikasi seseorang menderita kegilaan atau kecacatan mental. Malah lebih mudah mengukur kadar EI seseorang.
Akan tetapi, menjadi masalah apabila ia sadar pada akibat perbuatannya, tetapi tetap melakukan tindakan yang berakibat negatif baginya. Bila ini yang terjadi, secara umum ia bisa dikatakan memiliki ketidakpedulian. Belum bisa dikatakan psikopat. Ini sebenarnya serupa dengan fenomena perokok. Siapa sih yang tidak tahu bahaya kesehatan merokok? Tapi kenapa orang tetap merokok? Karena ia tidak peduli, bahkan kepada dirinya sendiri. Istilahnya “apatis”.
Bisa jadi, kedua remaja itu sama sekali tidak gila atau mengalami masalah kejiwaan apa pun. Mentalnya pun mungkin sehat dan normal saja, apalagi keduanya mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik. Kemungkinan itu hanya karena masalah EI-nya yang rendah. Karena memang emosi itu bersifat “letupan”. Kemampuan menahan “letupan” agar tidak berubah menjadi “ledakan” adalah tanda ketinggian EI.
Ilustrasi: http://www.vimeo.com, www.dtssydney.com