Sempurna Itu Tidak Selalu Bagus

Mona_Lisa

Apakah Anda suka keindahan? Keindahan macam apa yang menurut Anda sempurna? Bahkan lukisan Monalisa saja tidak memenuhi selera semua orang. Lalu keindahan macam apa yang sempurna? Kalau kita bicara lawan jenis, tentu ada kriteria yang disebut ‘sempurna’. Tapi, itu cuma secara fisik. Karena dalam fase hidup saya pernah bergaul dengan mereka, seringkali inside-nya abal-abal. Yeah, kalau komputer, ternyata bukan “Intel Inside” (Hi Intel, pay me. Hehehe).

Saya tahu, di dunia tak ada yang sempurna. Peribahasanya adalah “tak ada gading yang tak retak”. Akan tetapi, ada orang yang disebut berkarakter “perfeksionis”. Orang yang selalu menuntut kesempurnaan, terutama dari dirinya sendiri. Ia selalu berusaha “sempurna” di hampir semua hal. Walau tentu ada yang lebih memperhatikan penampilan, ada yang pembawaan, dan ada juga yang pekerjaan. Saya yang terakhir.

Sejak saya kecil, saya berusaha memberikan yang sempurna. Tapi seringkali sempurna itu justru tidak sempurna. Apa yang sempurna menurut saya, belum tentu sempurna menurut orang lain.

Itu baru satu faktor.

Menjadi perfeksionis sendiri adalah sebuah ketidaksempurnaan. Ini paradoks filsafat. Ia seperti double jeopardy alias pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bisa membuat orang tersenyum senang, tapi di sisi lain bisa menyakitkan membuat wajah masam. Seorang perfeksionis berusaha menyajikan kesempurnaan, tapi untuk menyajikannya, ia harus berangkat dari ketidaksempurnaan. Inilah sisi paling negatif, karena menunggu kesempurnaan yang tak pernah tercapai, kalau akhirnya pekerjaan dimulai, maka akan memakan waktu lama. Proses menyempurnakan karya agar menjadi sempurna sendiri sangat lama. Lukisan karya Michelangelo di Kapel Sistine misalnya, dibuat dalam waktu 4 tahun sambil tengadah!

Karya yang dihasilkan seorang perfeksionis bisa memuaskan pemberi pekerjaan karena detailnya. Akan tetapi di sisi lain jelas memerlukan waktu lebih lama yang kerapkali justru tidak tersedia. Bahkan bahan pendukung untuk membuat karya itu seringkali juga tak kunjung sempurna seperti yang diminta.

Sore ini, dari pembicaraan cukup panjang dari hati ke hati bersama seorang sahabat, saya baru sadar ada mata pisau ketiga yang kerap tidak disadari oleh perfeksionis. Ini malah bisa amat melukai. Asalnya bukan dari pihak yang memberi pekerjaan atau pekerja yang perfeksionis itu sendiri, melainkan justru dari pihak ketiga atau orang lain yang tidak terlibat. Menjadi melukai karena pihak lain itu tak menyukai kesempurnaan yang dilakukan si perfeksionis. Sebabnya bisa karena iri hati, dengki atau merasa terancam.

Saya pernah mengalaminya berkali-kali. (Ceritanya lain waktu saja ya. Terlalu panjang bila diceritakan sekarang). Di sini penyikapannya cuma ada dua. Pertama ke luar yaitu kepada pihak ketiga itu adalah seperti kata pepatah: “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Sementara kedua ke dalam yaitu kepada diri sendiri, sikap yang bagus adalah tawadhu’ atau merendahkan hati dan senantiasa bersabar. Memang, mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Saya sendiri makin menyadari, bahwa sempurna itu tidak selalu bagus.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s