Melanjutkan pembahasan kemarin, “Consumer 3000” yang ditulis Yuswohady sebagai sebuah buku (Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia, 2012) merupakan sebuah keniscayaan dalam kondisi kiwari di Indonesia. Dalam salah satu bagian –saya tidak bisa menyebutnya bab karena memang bukan bab- di buku itu yaitu di C3000 Idea #7, Yuswohady menyebutkan mengenai fenomena “OKB” (p. 51-55).
Bagi angkatan yang di dekade 1990-an sudah cukup besar, tentu tahu akronim ini artinya “Orang Kaya Baru”. Inilah yang diidentikkan Yuswo sebagai “Consumer 3000” itu. Terlampauinya GDP (Gross Domestic Product) sebesar US$ 3,000 membuat daya beli mereka meningkat. Fenomena baru di Indonesia ini menurutnya sangat mirip dengan yang terjadi di China, dimana mereka telah lebih dulu mengalaminya.
Mengutip Yuswohady : “Mereka (Consumer 3000-BMH) mengonsumsi produk-produk yang mereka beli bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan utilitas/fungsional, tapi juga sebagai simbol bahwa mereka berasal dari kalangan berada. Consumption is a symbol of richness”. Itulah “gaya hidup sukses” yang mereka tampilkan.
Saya pribadi tidak terlalu peduli pada gaya hidup. Saya tidak travelling ke tempat mana pun dengan tujuan gaya atau liburan. Saya tidak membeli gadget karena paling mahal dan sedang ngetren. Apalagi kalau urusan fashion, saya sama sekali “jadul abis”. Katro’ deh.
Hal ini kalau saya mengamati diri sendiri -menggunakan pendekatan psikologi Freudian ditambah sedikit Jung sederhana- disebabkan keluarga saya sudah “naik kelas sosial” atau social climbing justru di masa orangtua saya. Keluarga kedua orangtua saya orang biasa. Kelasnya –mengikut kategorisasi Nielsen- “C” atau paling banter “B-“. Kakek-nenek saya memang tidak miskin-miskin amat, tapi hidupnya “pas-pasan”. Maklum, kedua orang kakek dari ayah-ibu saya abdi negara. Sudah begitu jumlah anaknya banyak, khas “orang dulu”. Ayah saya berhasil menaikkan kelas keluarga inti kami –ayah,ibu, dan saya- ke kelas “B” hingga “B+”. Sekarang, justru tugas saya menaikkan kelas keluarga ke” A”, kalau bisa ke kelas tertinggi “A+”.
Tapi “gaya hidup miskin” kami masih terasa. Salah satunya adalah menumpuk barang alias hoarding. Kami tidak membuang barang lama yang sudah tidak dipakai, tapi disimpan. Kami juga hanya membeli barang sesuai fungsinya. Ganti kalau rusak. Beli baru kalau memang benar-benar perlu. Dan itu menular ke saya.
Ada sih barang-barang yang memang terkesan “wow”. Tapi itu hanya dipakai di saat tertentu. Sebutlah undangan suatu acara yang memang mengharuskan saya memakai jenis barang seperti itu. Atau bertemu seseorang di kelas tertentu yang memang membuat saya “terpaksa” memakainya. Tapi sehari-hari, saya sangat menekankan diri untuk tidak bergaya hidup sukses.
Sebabnya, satu: saya belum merasa sukses. Kedua: kalau pun alhamdulillah dianggap sukses, insya ALLAH saya tidak akan merubah gaya hidup. Barangkali, inilah benteng dari kebangkrutan total seperti banyak dialami para pengusaha pemula yang “menang gaya” saat ini. Salah satu perusahaan saya bisa tidak beroperasi, tapi tanpa terlilit hutang pada lembaga pembiayaan, malah masih menyisakan aset. Maka, “gaya hidup sukses” tidak perlu buat saya. Karena kalau cuma “menang gaya”, mending “ke laut aje”. Hehehe.
Ilustras: customsplashpages.net