Bohong kalau saya bilang saya penikmat jazz. Masalahnya, saya tak tahu siapa saja musisi jazz apalagi hafal lagunya, judulnya saja tidak tahu. Mencari di internet sih mudah saja sekedar untuk dituliskan. Tapi saya tak ingin “sok teu.” Kenapa? Karena saya memang tidak tahu. Buat apa pura-pura tahu padahal tidak? Tak ada orang yang sempurna, tak ada orang yang tahu segalanya, termasuk saya.
Akan tetapi, sebagai gaya hidup, saya mencoba “naik kelas”. Sejak kuliah, saya beberapa kali menghadiri Jazz Goes To Campus yang rutin diadakan sejak 37 tahun lalu oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sewaktu sudah punya cukup uang, beberapa kali perhelatan Java Jazz -yang tahun ini memasuki usia ke-10- juga saya sempat hadiri. Tapi terus-terang, saya belum bisa enjoy acara apa pun yang bersifat keramaian seperti itu. Maka, kecuali diberi tiketnya secara gratis seperti beberapa kali terjadi, saya paling malas menghadiri konser musik. Jazz adalah satu-satunya jenis konser musik yang saya pernah beli tiketnya. Sementara konser musik genre lain selalu “gratisan”. Hingga saat ini, saya masih merasa sayang mengeluarkan uang untuk ‘desek-desekan’ di depan panggung. Lebih baik membeli CD-nya dan mendengarkan sambil santai di rumah. Seni pertunjukan lain yang bisa saya nikmati hanya teater bernuansa dagelan seperti Teater Koma atau Gandrik. Teater yang serius seperti halnya “Broadway opera” sama sekali tidak saya mengerti. Saya bodoh soal ini.
Di Indonesia, setelah terjadinya kenaikan pendapatan per kapita menjadi lebih dari US$ 3,000 per tahun, terjadi pula perubahan gaya hidup. Kelas menengah yang naik jumlahnya, membuat konsumsi berbagai “obat penawar racun kehidupan” laris-manis. Mulai dari gadget, travelling sampai concert semua diserbu bak kacang goreng. Angka 1-5 juta untuk menikmati pertunjukan musik sehari terasa kecil. Dalam konteks investasi, kita juga melihat fenomena larisnya properti dan berbagai instrument investasi lainnya seperti surat berharga pemerintah dan emas.
Jazz juga dikonsumsi serupa karena ia dianggap musik berkelas. Dalam tataran tertentu, musik klasik yang dianggap sebagai puncaknya adikarya musik juga mulai dicerna masyarakat yang tadinya tidak mengkonsumsinya. Demikian pula seni pertunjukan lain seperti teater. Walau kelas seni pertunjukan tertinggi yaitu opera tampaknya masih sulit dikembangkan di Indonesia.
Tampaknya, masyarakat kita begitu ingin terlihat sukses. Sampai-sampai simbol gaya hidup seperti itu dicerna dengan sukacita. Inilah yang ditengarai oleh sobat saya Yuswohady sebagai fenomena “Consumer 3000”.
Foto: javajazzfestival.com