Profesor & Kepintaran

A profesorTanpa saya perlu menyebutkan nama, Anda yang mengikuti pemberitaan media massa arus utama pasti tahu bahwa ada seorang yang tidak pernah lulus kuliah tahu-tahu sudah mencantumkan gelar “Profesor”. Saya tahu, gelar semacam itu ada yang “menjual”-nya. Salah satu orang di lingkaran terdekat saya juga pernah membelinya. Wisudanya di hotel berbintang. Saya juga pernah ditawari. Tapi buat apa?

Nah, seharusnya Pak Profesor “jadi-jadian” yang aslinya musikus itu sudah cukup bangga dengan dirinya. Ia juga seharusnya menghargai orang yang benar-benar kuliah dengan susah payah. Kenapa ia terlihat tidak PD? Bukankah ia sudah dijuluki “Raja” oleh penggemarnya? Saya pikir, gelar akademis apa pun tidak untuk “pamer” kepada khalayak. Apalagi dalam konteks politik praktis. Sudah begitu, gelar itu diperoleh dengan cara yang jelas tidak sah. Untuk apa sih? Cuma agar dibilang pintar? Bukankah sebaliknya itu justru menunjukkan kebodohan dan kenaifan yang bersangkutan?

Pintar itu akan terlihat justru di dunia nyata. Dunia sekarang tampaknya memang lebih menghargai orang kaya. Tidak apa-apa bodoh, asal bisa membeli orang pintar. Itulah yang dipuja-puji beberapa orang yang salah kaprah memaknai fenomena “anak drop-out jadi orang kaya”. Sampai-sampai ada kenalan saya yang mengatakan rumus sukses adalah “mendrop-outkan” diri. Astaga.

Saya pernah drop-out. Dan rasanya tidak enak. Karena itu terjadi saat saya sedang sibuk menjadi aktivis sampai lupa daftar ulang. Bodoh! Saya merutuki diri sendiri. Lantas, apakah saya menyerah? Tidak. Setelah itu saya jadi milyarder? Tidak juga. Kenapa? Karena saya tak punya inovasi yang memberi manfaat bagi orang lain.

Itulah kuncinya. Inovasi. Bill Gates, Steve Jobs, Jan Koum, membuat sesuatu yang berguna. Bukan ngomel, tidak memaki orang lain, nggak sok hebat, tapi berkarya. Dan ingat, mereka drop-out bukan karena bodoh, justru karena pintar. Pemikiran mereka sudah melompat melebihi bangku perkuliahan saat itu. Ibaratnya, mereka sudah melampaui pemikiran orang seusianya. Mereka tidak berhenti pada kondisi keterpurukan karena drop-out. Mereka maju terus, walau diragukan orang lain. Dan lihatlah apa yang sudah mereka catatkan: sejarah.

Itulah kelemahan kebanyakan orang Indonesia, termasuk saya. Cepat merasa puas diri. Kurang inovasi. Jarang peduli pada sesama. Mau cari selamat sendiri. Senang bersantai (negara kita adalah yang paling banyak hari libur resminya sedunia). Yang mampu mengatasi semua kebiasaan itu niscaya sukses. Mereka itulah yang kerap mendapatkan apresiasi, termasuk dari “Kick Andy” seperti tulisan saya kemarin.

Pintar saja tidak cukup. Maaf saja, saya kenal beberapa teman yang menurut saya lebih pintar daripada saya. Tapi hidupnya ‘biasa-biasa’ saja. Kenapa? Karena ia punya kelemahan di beberapa titik. Satu yang terpenting, adalah interpersonal skill yang kurang memadai. Selain itu, juga ada faktor-faktor lain agar membuat hidup kita sukses, sebutlah di antaranya seperti keuletan dan ketekunan. Saya sendiri masih jauh dari kata sukses. Masih panjang sekali jalan yang harus saya lalui.

Satu yang harus diingat, sukses bukan kaya. Sukses adalah menjadi diri kita yang terbaik. Pak profesor gadungan tadi membuktikan, ia yang sudah kaya, terkenal, menjadi pujaan banyak orang, ternyata tetap merasa berkekurangan. Ia tahu ia tidak pintar. Makanya nekat beli gelar. Kasihan ya? Tapi, biarpun iba, jangan pilih dia jadi presiden kita ya… Hehehe.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s