Orang paling bodoh adalah yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.
(Aristoteles. Filsuf Yunani. Hidup sekitar abad ke-4 SM).
Di dunia fana ini, rasanya amat sedikit orang yang mau dibilang bodoh, jelek, norak, kampungan, miskin, konyol, sombong dan segala julukan lainnya. Bahkan andaikata pun mereka memang bodoh, jelek, norak, kampungan, miskin, konyol, dan sombong. Bisa jadi hanya di akherat nanti orang akan mengakuinya, dimana keyakinan Islam mengatakan mulut tak lagi bisa bicara.
Akan tetapi filsafat mengajarkan sebaliknya. Kita bisa menjadi bijaksana justru dengan mengakui itu semua. Terutama sekali apabila kita mengakui bahwa kita ini tidak tahu. Maka, berlawanan dengan kutipan di atas, Aristoteles juga mengatakan bahwa orang yang bijaksana justru adalah yang tahu bahwa dirinya tidak tahu dan sekaligus tahu bahwa dirinya tahu. Kalau menggunakan bahasa psikologi modern, orang ini sangat tahu self assessment dirinya.
Menurut Ikujiro Nonaka, pakar knowledge management, pengetahuan terbagi dua yaitu explicit dan tacit. Explicit knowledge itu adalah semua hal yang tertulis dan diajarkan, ia sistematis dan formal, mudah diduplikasi. Sementara Tacit knowledge sebaliknya, ia tersimpan di kepala masing-masing individu, biasanya berupa ketrampilan dan pengalaman. Bisa saja diajarkan, tapi bentuknya sharing atau pelatihan. Perlu pembiasaan dalam mengajarkan tacit knowledge.
Contoh explicit knowledge adalah semua teori, program, panduan, dan segala hal yang biasanya menjadi basis pengajaran dalam pendidikan formal. Sebaliknya tacit knowledge biasanya berada di tataran pendidikan ketrampilan seperti public speaking, negotiation skill, atau lobbying. Bisa juga yang lebih langka seperti kemampuan menaksir kualitas permata.
Lebih mudah mengatakan seseorang bodoh atau tidak mampu dalam konteks pendidikan formal, karena akan lebih jelas terlihat. Seorang yang kecerdasan matematisnya kurang pasti akan mengalami masalah di mata pelajaran matematika, kimia, fisika, dan biologi. Akan tetapi sulit membandingkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan yang sifatnya hanya terlihat bila dibutuhkan. Contohnya kemampuan mengemudikan kendaraan. Banyak orang punya SIM (Surat Izin Mengemudi), bahkan juga yang tidak punya SIM-pun bisa menyetir. Akan tetapi, berapa orangkah yang berkualifikasi memadai untuk menjadi pembalap? Sedikit.
Biasanya orang akan mudah meremehkan tacit knowledge. Kita tentu sering mendengar komentar, “Ah, kalau gitu doang sih gue juga bisa.” Oh ya? Cobalah.
Ada hal-hal seperti memasak, mengemudi, menjahit, berenang, membaca peta, menghafalkan rute jalan, mendaki gunung, bahkan sekedar melempar genting dari bawah ke atas (pernah melihat tukang bangunan melakukannya kan?) yang terlihat mudah. Ya, terlihat mudah. Tapi bila kita yang melaksanakan sendiri, belum tentu bisa.
Karena itu di ketentaraan, ada yang namanya brevet atau wing. Ini adalah tanda keahlian khusus, misalnya brevet penerbang atau penyelam. Sipil pun bisa memperolehnya dengan mengikuti pelatihan setara militer. Di situ, ada kualifikasi mulai dari bisa, mahir, unggul, jitu atau semacamnya. Kalau Anda ingat saat kursus bahasa asing, ada level basic, intermediate hingga advance. Nah, tacit knowledge itu pun sebenarnya seperti itu.
Maka, bila ada orang memberitahu bahwa Anda bodoh di hal tertentu, jangan marah. Justru berterima kasihlah. Karena itu bisa jadi akan menyelamatkan Anda. Misalnya kalau Anda berada di pinggir kolam renang yang dalam standar olimpiade, dan teman Anda mengingatkan, “Hati-hati lho, kolamnya dalam, ntar lu kelelep.” Lalu Anda meremehkan dan terpeleset langsung ke kolam 5 meter. Kalau memang kualitas berenang Anda cuma standar, niscaya akan kaget karena kolam renang biasa ada bagian cetek-nya. Tapi kolam renang untuk pertandingan tidak ada. Dan keterkejutan itu bisa membuat Anda mati tenggelam.
Justru bila Anda dibilang bodoh, itu kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan kompetensi diri. Karena sekolah kehidupan tak berhenti saat Anda lulus sekolah formal. Ia baru berhenti saat kita mati.
Ilustrasi: www.nature-education.org