Kemarin, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang mendapatkan nomor urut 1 dalam Pemilu 2014 menggelar apel akbar konsolidasi nasional yang dinamai “Apel Siaga Perubahan”. Satu-satunya televisi yang menyiarkan langsung tentu adalah Metro TV milik Surya Paloh, Ketua Umum partai itu yang sekaligus juga pemilik stasiun televisi berita tersebut.
Bicara soal keinginan menunjukkan kemampuan partai itu atau kalau dalam bahasa Inggrisnya show of force alias pameran kekuatan, sepertinya yang terlihat hanya pameran kekuatan dana saja. Karena dari kapasitas Stadion Utama Gelanggang Olahraga Bung Karno (SU GBK) hanya terisi tak sampai 1/3-nya. Trik menutupi bangku kosong dengan bendera merah-putih raksasa dan bendera partai masih kurang optimal. Kamera televisi yang berupaya hanya menyorot bagian-bagian tertentu saja yang dipenuhi massa, toh masih bisa membuat pemirsa TV mengamati faktanya.
Stadion utama yang dibangun Pemerintah Orde Lama di bawah Soekarno itu dipersiapkan sebagai stadion sekelas olimpiade. Ya. Karena memang ia sempat dipakai sebagai tempat penyelenggaraan Ganefo (Games of New Emerging Forces) pada 10-22 November 1963. Tandingan olimpiade ini diselenggarakan setelah Indonesia dibekukan keanggotaannya dari IOC (International Olympic Committee) karena pada Asian Games 1962 di Jakarta kita menolak delegasi Taiwan dan Israel. Sebanyak 51 negara dengan 2.700 atlet berpartisipasi dan itu merupakan prestasi negara ini yang luar biasa, bahkan hingga saat ini.
Kapasitas SU GBK 100.000 orang. Hingga saat ini masih merupakan salah satu stadion terbesar di dunia dan saat itu adalah yang terbesar di Asia. Sebagai perbandingan, Old Trafford stadion kebanggaan klub Inggris Manchester United kapasitasnya ‘hanya’ 75.731 orang.
Kosongnya SU GBK itu membuat klaim Nasdem akan membirukan Jakarta seolah tak sampai. Hendak merengkuh gunung, apa daya tangan tak sampai. Tapi saya rasa itu bisa dikarenakan beberapa faktor. Pertama adalah faktor kegagalan para koordinator lapangan untuk menembus simpul-simpul massa. Kedua justru faktor penyelenggara sendiri yang memang membuat massa enggan datang.
Sudah jadi kelaziman kalau di Indonesia ada koordinator massa bayaran. Untuk acara hiburan seperti “Dahsyat” di RCTI atau “Yuk Kita Senyum” di Trans 7 saja ada “penonton bayaran”. Demikian pula untuk demonstrasi atau aksi jalanan lainnya. Tingginya tingkat pengangguran dan sulitnya kestabilan pendapatan sektor informal membuat bayaran 20-50 ribu untuk beberapa jam acara cukup menarik. Apalagi kalau acaranya penuh hiburan, tentu tambah menyenangkan.
Akan tetapi dalam konteks politik, bisa jadi ini agak sulit. Karena di sini selain faktor uang dan kesenangan, juga ada faktor kesadaran (conscience). Saya agak ragu menggunakan istilah “hati nurani” karena sudah jadi nama partai politik juga. Tapi terus-terang memang kata itu lebih tepat.
Bisa jadi massa enggan datang karena tahu itu adalah acaranya partai yang tidak mereka sukai. Meski memang sekarang iklim politik praktis di Indonesia bisa dibilang ultra-liberal dan transaksional, faktor kesadaran dan hati nurani masih bermain. Tidak selalu massa itu “mata duitan”. Mereka bisa menolak berpartisipasi dalam kegiatan politik yang tidak mereka sukai. Bahkan, kaos atau atribut lain pun bisa mereka buang, karena di sini ada faktor emosional yang bermain.
Saya memang sedang tidak terlibat di dunia politik praktis. Walau tadinya saya sempat mempertimbangkan ingin ikut mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada 2014 ini, namun saya urungkan karena pertimbangan pribadi. Akan tetapi, beberapa tahun lalu saya pernah terlibat, atau lebih tepatnya dilibatkan dalam dunia politik praktis. Hal ini karena ayah saya adalah salah satu Ketua –bukan Ketua Umum- Dewan Pimpinan Pusat sebuah Organisasi Peserta Pemilu (OPP) di masa Orde Baru. Pada Pemilu 1992, saat saya masih duduk di bangku SMA, saya sempat mengikuti rangkaian kampanye ayah saya di Jawa Tengah, karena beliau adalah juru kampanye nasional. Sebelumnya pun pada Pemilu 1987 saat masih SMP saya juga diajak beliau. Karena posisi beliau, kami tentu duduk di tribun kehormatan atau VVIP termasuk saat di Stadion Utama GBK. Bahkan pada Pemilu 1997 saya adalah caleg termuda dari OPP itu. Sehingga pada usia 22 tahun saya ikut berkampanye bersama Ketua Umum Partai Politik walau nomor urut saya jelas “tidak jadi”. Saya sendirian saja, berpisah dari ayah saya yang ditempatkan di daerah pemilihan lain.
Pengalaman itu membuat saya mengalami bahwa memang mengumpulkan massa untuk kepentingan partai politik itu tidak mudah. Apalagi kalau harus memastikan mereka mencoblos partai kita pada Pemilu. Karena itu, andaikata saya bisa bicara langsung dengan para petinggi Partai Nasdem, sebenarnya saya ada satu saran penting: jangan sesumbar. Karena pameran kekuatan massa itu sia-sia. Hanya menghabiskan dana kalau massanya tidak murni datang atas kesadaran hati-nurani. Itu saja.
Foto: account Twitter Burhanuddin Muhtadi
Catatan: Hari ini saya juga menulis artikel lain dengan tema serupa di Kompasiana. Silahkan klik di sini untuk membacanya.