Saya terinspirasi dari tulisan Ibu Eileen Rachman di harian Kompas edisi Sabtu (22/2) ini. Beliau adalah pakar SDM yang saya sangat hormati. Pemilik EXPERD, konsultan SDM nomor wahid di Indonesia.
Fenomena “selfie” ini membahana setelah social media marak dan perangkat teknologi informasi memungkinkan. Adanya smartphone dilengkapi kamera dan bisa sekaligus terkoneksi ke internet merupakan salah satu akseleratornya.
Menurut Eileen mengutip Oxford University Press, “selfie” merupakan word of the year pada tahun lalu. Penggunaan kata ini meningkat 17.000 % dalam waktu 10 tahun. Jadi, fenomena ini merupakan keniscayaan.
Bedanya dengan masa-masa sebelumnya, kini semua orang bisa eksis. Berebut narciss. Tapi, itu sebenarnya semu karena kebanyakan cuma di social media. Sementara kita tahu itu adalah dunia maya, bukan dunia nyata. Kita yang orang biasa seringkali ingin ngetop atau populer. Kalau bisa seperti Justin Bieber atau Raisa yang selfie Youtube sebelum jadi artis.
Namun, harus diingat, mereka punya bakat. Ada sesuatu untuk ‘dijual. Itu membuat mereka diapresiasi publik yang bahkan tidak mengenal mereka di kehdupan nyata.
Itu indikasinya. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah saat kita melakukan posting apa pun di social media, yang berkomentar atau memberi “like” merupakan individu yang memang mengenal di dunia nyata –misalnya keluarga atau teman kantor- atau orang yang justru tidak kenal? Kalau sudah yang kedua, berarti content yang Anda berikan berguna. Dan pencitraan sosial kita pun akan naik. Bagi yang memiliki personal brand, tentu akan membawa dampak positif juga dalam kehidupan nyata.
Selfie bisa jadi sarana promosi diri yang efektif, atau sebaliknya jadi bumerang. Orang lain bisa senang dan ikut tertawa melihat selfie kita, atau sebaliknya malah muak. Misalnya kalau kita memposting di Instagram atau FaceBook foto kita atau keluarga di tempat wisata, orang lain bisa ikut menikmati keindahan tempat itu. Bukannya cuma memelototi wajah kita yang mengisi lebih dari 50 % bidang foto.
Ini senada dengan tulisan Eileen di Kompas hari ini. Bahwa selfie hanya langkah awal identifikasi diri. Setelah itu akan berguna bagi orang lain kalau ada stories di dalamnya. Orang lain senang mengikuti aktivitas kita karena merasa “got something”. Istilahnya Syahrini: “sesuatu banget”.
Foto: dailymail.co.uk