Beberapa hari lalu, dalam malam-malam tanpa tidur seperti biasa saya lalui setiap hari, ALLAH SWT mengilhamkan satu pemahaman baru: tentang beratnya menjadi seorang Nabi. Bayangkan situasi para Nabi dahulu dimana yang paling dekat dengan masa kita yaitu Rasulullah Muhammad SAW saja sudah lebih dari 1.400 tahun. Apalagi para Nabi sebelumnya yang bisa puluhan ribu tahun lampau.
Di saat itu, tentu tidak ada sarana memadai, apalagi untuk berkomunikasi. Di rumah ibadah tidak ada pengeras suara dan pendingin udara. Kebanyakan Nabi agama samawi diturunkan di jazirah Arabia atau oleh para orientalis disebut Timur-Tengah. Kondisi iklim di sana gurun, sangat panas. Masyarakatnya bekerja secara tradisional sebagai petani, nelayan atau pengrajin. Pertanian pun hanya bisa di daerah aliran sungai saja karena tanahnya yang berpasir dan tandus.
Untuk bepergian kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki. Bagi golongan mampu bisa naik unta atau kuda. Kereta yang ditarik binatang baru belakangan adanya. Sebelumnya para pejabat negara atau orang kaya malah ditandu atau ditarik oleh budak manusianya. Tentu saja tidak ada kendaraan bertenaga non-makhluk hidup karena mesin uap baru ditemukan pada masa Renaissance. Mesin uap inilah yang mendasari segala jenis mesin pada alat transportasi modern.
Nah, Nabi itu ngapain sih kerjaan-nya? Apakah mereka seperti ahli agama zaman sekarang yang tarif ceramahnya saja bisa menyamai artis papan atas? Atau mereka saat mengumpulkan massa lantas bisa dipakai sebagai dalih pengumpulan dana juga? Atau para Nabi mengedarkan proposal minta sumbangan kepada perusahaan dengan dalih uang keamanan?
Jelas tidak. Para Nabi disucikan ALLAH SWT dan terjaga dari semua perilaku itu. Mereka berdakwah menyebarkan ajaran ketauhidan secara ikhlas, sama sekali tidak menerima bayaran. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, semua Nabi bekerja atau berusaha. Rasulullah SAW adalah pedagang yang sempat menjadi penggembala di masa remaja, Nabi Daud a.s. pandai besi sementara Nabi Zakaria a.s., Nabi Nuh a.s, dan Nabi Isa a.s. adalah tukang kayu. Intinya, semua Nabi memiliki cara mencari penghasilan duniawi. Mereka sama sekali tidak mencari uang atau imbalan apa pun atas dakwahnya. Ini tentu berbeda dengan zaman sekarang, apalagi ahli agama seleb yang bayarannya mahal.
Sudah tidak dibayar, apakah lantas orang-orang mudah mengikuti ajaran mereka? Tidak sama sekali. Mereka menghadapi tantangan luar biasa. Saya membayangkan ini seperti kita tiba-tiba datang ke Monas lalu berteriak-teriak lantang, “Wahai semua orang, ikutilah aku. Aku membawa berita kebenaran.” Anda mungkin akan menganggap itu orang gila. Betul. Para Nabi sering dituduh sebagai orang gila. Bahkan Al-Qur’an merekam penghinaan ini, antara lain dalam surat Ash-Shaffat (37) ayat 36:
Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”
Tidak hanya itu, para penguasa yang ketakutan seringkali mengancam para Nabi. Mereka tidak hanya melakukan intimidasi secara psikis atau kata-kata, tapi juga fisik dan tindakan. Beberapa Nabi dipenjara dan disiksa, bahkan ada yang syahid dibunuh.
Untuk mencari mereka yang percaya pada ketauhidan pun seperti mencari jarum di tumpukan jerami, sangat sulit. Belum tentu juga anggota keluarga percaya pada apa yang diwasiatkan para Nabi. Anak dan istri Nabi Nuh a.s. ingkar, demikian pula ayah dan ibu Nabi Ibrahim a.s. Bayangkan beratnya tidak dipercaya dan dikhianati orang terdekat.
Tak heran, para Nabi dipuji setinggi langit oleh Sang Pencipta Langit itu sendiri. Nama mereka diabadikan dalam Kalam Illahi yang dibaca milyaran manusia jauh melampaui masa hidupnya. Tentu saja ganjaran surgawi sudah pasti jadi jaminan. Karena semua Rasul dan Nabi itu ma’sum, bebas dari dosa. Keyakinan ini meruntuhkan klaim agama lain yang menyebutkan hanya orang suci merekalah yang seperti itu. Dunia terlalu luas dan sejarah manusia terlalu panjang untuk klaim sesempit itu.
Tapi kegemilangan mereka di akherat tidaklah didapatkan cuma-cuma. Di dunia, sepanjang hidupnya, derita mereka luar biasa. Tidak ada manusia yang deritanya melebihi para Nabi. Dan karena itulah mereka disebut Kekasih Tuhan Sejati, satu posisi yang tak bisa ditebus dengan gunung emas sekali pun.
Ilustrasi: nephicode.blogspot.com