Apabila Anda penggemar sepakbola, tentu mengenal nama Pep Guardiola. Pelatih FC Bayern Munich (atau Bayern München) yang mengawali karirnya dengan sukses di FC Barcelona itu dikenal punya kejeniusan dalam mengatur taktik. Sebagai ganjarannya, klub Spanyol yang dipimpinnya itu bergelimang trofi. Bahkan di tahun pertama kepemimpinannya saja ia sudah membawa tiga trofi sekaligus ke Barça: La Liga,Copa del Rey, dan Champions League.
Berbeda dengan pola kebanyakan orang yang akan melanjutkan kesuksesan di tempat yang sama, Pep justru mengundurkan diri setelah empat musim di klub Catalan itu. Padahal, ia pelatih tersukses sepanjang sejarah klub dengan mempersembahkan 14 gelar juara hanya dalam waktu empat tahun saja.
Satu tahun beristirahat untuk memulihkan diri, tidak membuat Pep jadi pengangguran. Klub besar Jerman meminangnya. Tidak sembarangan, klub ini juga meraih treble di musim 2012/2013 yaitu Bayern Munich. Ia menggantikan pelatih sebelumnya Josef “Jupp” Heynckes yang sukses mempersembahkan tiga trofi di tahun terakhirnya: Bundesliga, DFB-Pokal dan Champions League. Uniknya, dalam perjalanan menjadi jawara Liga Champions, Bayern Munich menghempaskan Barcelona di semifinal dengan agregat fantastis: 7-0. Saat itu, klub yang baru saja ditinggalkan oleh Pep itu diasuh oleh mantan asistennya Tito Vilanova. Jupp sendiri menyatakan pensiun dari dunia kepelatihan usai mengomandani Bayern Munich.
Masuk ke klub besar yang baru saja meraih prestasi besar semula membuat orang banyak ragu pada kemampuan Pep. Apalagi seringkali pelatih sukses di satu tempat belum tentu sukses di tempat baru. Tapi Pep membalikkan semua itu.
Ia malah membawa Bayern Munich makin perkasa. Di klasemen sementara Bundesliga, mereka memuncakinya dengan keunggulan 16 angka atas urutan kedua sementara, Bayer 04 Leverkusen. Mereka bahkan belum pernah kalah di liga domestik.
Apa rahasianya?
Ternyata satu kata: “INOVASI“.
Pep membawa klub sepakbola yang sudah besar itu makin besar dengan melakukan inovasi taktik. Meski dua pelatih sukses sebelumnya -Louis van Gaal dan Jupp Heynckes- juga dikenal ‘bertangan dingin’, Pep memberi kesegaran pada permainan klub. Apabila sebelumnya pemain utama (starting line-up) bisa diprediksi karena taktik 4-2-3-1 yang selalu digunakan, Pep mengubahnya.
Ini membuat lawan kesulitan memprediksi taktik apa yang akan digunakan. Dan tentu saja juga kesulitan menyiapkan strategi untuk meredamnya.
Salah satu contoh adalah pada saat melawan Mainz 05 pada 19 Oktober 2013, Pep melakukan inovasi cukup radikal. Ia memasang Philip Lahm yang biasa bermain sebagai bek kanan pada posisi baru: gelandang bertahan jangkar. Surat kabar Guardian mencatat Lahm memainkan empat posisi berbeda di satu pertandingan itu. Pep juga sekaligus memainkan strategi “double-pivot no.10”. Penyerang bernomor punggung 10 Mario Gotze tidak berfungsi sebagai striker murni, tapi juga gelandang serang. Ia sering turun ke bawah menjemput bola. Malah, di depannya ada Arjen Robben, Thomas Müller dan Mario Mandzukic. Berempat, mereka berganti-ganti peran sebagai striker. Lawan pun bingung musti menjaga ketat siapa. Hasilnya, Bayern menang 4-1.
Keberanian melakukan inovasi ini pada akhirnya juga menuntut kesiapan semua orang di dalam tim untuk selalu menyongsong perubahan. Hingga Profesor Xavier Sala-i-Martin dari Columbia University menyebut Pep seperti salah satu fashion brand dunia asal Spanyol: Zara. Hal itu karena mereka senang melakukan perubahan secara cepat.
Inovasi ini juga bisa kita tiru dalam kehidupan kita sendiri. Kemampuan untuk selalu siap menghadapi perubahan. Ketahanan untuk bertahan dan beradaptasi. Karena seperti teori yang dipercaya berlaku di alam semesta, hanya yang paling kuat yang mampu bertahan. “Survival of the fittest” kata Herbert Spencer. Dan itu bisa dilakukan dengan inovasi terus-menerus.
Foto ilustrasi:
- Pep Guardiola: http://dailymail.co.uk
- Analisa pertandingan Bayern Munich vs Mainz 05: http://squawka.com
Catatan:
- Istilah “survival of the fittest” pertama kali ditulis oleh Herbert Spencer dalam bukunya Principles of Biology (1864) setelah membaca buku monumental karya Charles Darwin yang berjudul On the Origin of Species (1859). Darwin sendiri kemudian mengadopsi istilah itu dalam edisi kelima bukunya yang terbit 1869.
- Inspirasi pembahasan taktik dari rubrik “Hattrick” harian Seputar Indonesia edisi Rabu, 19 Februari 2014 p.25 dan situs http://squawka.com. Saya bukan ahli taktik sepakbola dan tidak akan mengambil kredit untuk itu. 😉
Wah, ulasannya keren. Sy bkn penggemar Pep, Barca or Bayern, tapi membaca ini membuat pikiranku terbuka kalau segala sesuatu itu ‘ada ilmunya’. Trimakasih Pak.
Terima kasih pujiannya Mbak. Tapi ulasan soal taktik bukan dari saya, di sini saya cuma ‘tukang racik’ saja jadi masakan baru dari bahan yang sudah ada.