Bila sebagai pribadi manusia kita bisa berkonflik dengan sesama manusia, bagaimana bila kita berkonflik dengan institusi? Misalnya Bambang Pamungkas yang di blognya (http://BambangPamungkas20.com) ‘menyindir’ manajemen Persija yang belum melunasi gajinya. Padahal, kini dia sudah bermain untuk PBR (Pelita Bandung Raya). Lebih jauh lagi, ada yang disakiti oleh penguasa. Dalam konteks BePe tadi, ia juga disakiti oleh ‘penguasa’ klub sepakbola. Saya rasa, banyak juga yang disakiti oleh atasan atau institusi tempat mencari nafkah.
Tapi tak ada yang lebih menyakitkan daripada disakiti oleh penguasa negara atau dalam hal ini, pemerintah. Di negara ini, seringkali pemerintah dan aparatnya melanggar hak-hak warga negaranya. Misalnya dalam melakukan penggusuran atau penertiban apa saja. Bahkan, sebenarnya saat penguasa melenggang di jalan raya yang macet dengan bantuan pengawalan voor-rijder sudah menyakiti pengguna jalan lainnya.
Akan tetapi, dosa paling menyakitkan yang dilakukan penguasa apalagi kalau bukan dosa politik. Termasuk di dalamnya memenjarakan lawan-lawan politik penguasa.
Negara kita di masa lalu sebenarnya mencatat sejarah kelam. Sejak Indonesia merdeka dari penjajahan kolonialisme Belanda tahun 1945, kita telah dilanda beberapa kali pemberontakan. Ada tiga yang mencatat korban besar. DI/TII dan NII di Jawa dan Sumatra, PRRI/Permesta di Sulawesi dan terakhir PKI di Jawa. Korban besar justru bukan dari pihak penguasa atau rakyat biasa, tapi dari pihak pemberontak atau mereka yang dianggap terafiliasi dengannya.
Saya membaca di majalah Tempo edisi 6-12 Januari 2014, ada ribuan orang yang masuk daftar Golongan C. ini adalah mereka yang sesuai Keppres Nomor 28 tahun 1975 –sebagai bagian dari 30 peraturan perundang-undangan lain- terlibat dalam peristiwa 30 September 1965. Mengacu pada Instruksi Presiden nomor 13/Kogam/7/1966 –berarti sewaktu Soeharto belum dilantik MPRS sebagai Presiden dan masih ada Soekarno sebagai Presiden yang sah- terdapat 3 golongan yaitu A, B, dan C. Golongan A yang dianggap terlibat langsung, golongan B yang menjadi anggota PKI atau organisasi lain yang selaras dengannya, dan golongan C adalah yang menjadi simpatisan atau memiliki kesamaan pikiran dengan PKI.
Bayangkan derita mereka. Golongan A sebagian besar dibunuh walau ada yang diajukan ke pengadilan. Golongan B kebanyakan dibuang antara lain ke Pulau Buru. Sementara golongan C ditahan dibanyak tempat, antara lain di Jakarta adalah di RTM (Rumah Tahanan Militer) Guntur dan Cimanggis. Ironisnya, sebagian besar mereka tidak pernah lagi mendapatkan hak-haknya. Seperti para PNS dipecat dan tidak mendapatkan hak pensiun. Sementara yang lainnya sulit mendapatkan pekerjaan.
Saya sulit memberi komentar untuk soal ini.Karena mereka menderita puluhan tahun, sehingga kini sudah sepuh. Derita mereka juga fisik, bukan cuma batin. Dipukuli popor senapan, dibakar hidup-hidup, dicabuti kukunya. Astaghfirullah.
Maka, dalam Islam, mereka dibolehkan mengutuk penyiksanya. Walau tentu lebih baik bila memaafkan. Bila kita mendo’akan jelek maka hukumnya jatuh kepada do’a orang terzalimi yang pasti dikabulkan. Namun, ada hadits Qudsi yang menyatakan apabila mengampuni maka ALLAH akan membangunkan istana dari emas di surga.
Mungkin hanya iming-iming surgawi ditambah rasa legowo luar biasa besar yang bisa membuat kita memaafkan dosa penguasa seperti itu. Wallahu ‘alam.
Foto ilustrasi : dearonelovegod.blogspot.com