Kritik & Perubahan

website-home-page-critique-550x322

Saya berdiskusi dengan beberapa senior belakangan ini. Mereka sering membaca blog ini, katanya untuk mencari ‘penyegaran’ dari hiruk-pikuk pemberitaan media massa arus utama. Akan tetapi saya mendapatkan kritik pedas dari seorang yang cukup dekat hubungannya. Karena dekatnya itu ia santai saja ‘menjewer’ telinga saya.

Menurutnya, isi blog ini naik-turun kualitasnya. Saya seringkali tidak menjaga kontrol kualitas dengan ketat. Isinya terutama menjadi bernuansa negatif apabila saya sedang ‘down’ dalam kehidupan. Ia pun mengkritisi ketidakkonsistenan saya dalam mengisi blog ini setiap hari.

Semua itu betul belaka. Saya sempat membela diri bahwa saya bukan figur publik yang harus menjaga pencitraan sedemikian rupa. Harus selalu tersenyum dan ceria di depan semua orang. Saya juga membela diri bahwa aktivitas saya sehari-hari kerapkali membuat saya terpaksa ‘meninggalkan tugas’ mengisi blog harian ini. Toh, nantinya juga saya tambal lagi.

“Ia menggelengkan kepalanya. Itu tidak profesional”, katanya.

“Lho, kan saya tidak dibayar? Kenapa musti profesional?” saya ngeyel.

Bahkan meskipun tidak dibayar. Ia lalu mencontohkan seorang relawan yang sedang mengevakuasi warga korban bencana. Meskipun tidak dibayar –namanya juga relawan- apakah lantas ia melaksanakan tugas setengah-setengah? Saat mengevakuasi warga yang kebanjiran, apakah ia cuma membawa benang alih-alih tali tambang yang kuat? Warga sama saja dengan client, ia harus diperlakukan dengan baik. Meskipun ia tidak membayar, ia juga tidak tahu kita tidak dibayar siapa pun. Maka, tetap harus diberi pelayanan semestinya.

Saya memikirkan kritikannya. Benar juga. Pembaca blog ini kebanyakan awam. Saya pun mengamati data pengunjung. Dari 600-an hits setiap hari, unique visitor yang langsung mengakses halaman muka atau beranda hanya sekitar 100-an. Lebih banyak yang mencari menggunakan mesin pencari. Itu pun cuma sekitar 150-200-an yang tepat menggunakan kata kunci tertentu. Sisanya? Lain-lain alias nyasar.

Seorang senior lain memberikan saran yang lebih spesifik. Sebaiknya saya mempelajari cara Goenawan Mohamad menulis “Catatan Pinggir”. Tentu saja itu jadi acuan saya, tapi ternyata saya memang tidak taat azas saat menulis. Salah satu ciri khas “CaPing” adalah GM selalu menggunakan satu-dua referensi. Itu bisa kutipan dari tokoh atau buku yang dibacanya. Itulah salah satu hal yang membuat tulisannya bernas. Enak dibaca dan perlu seperti slogan Tempo.

Karena kritikan itu LifeLearner, insya ALLAH saya berubah. Meski harus menyesuaikan diri, saya tahu ini perubahan demi perbaikan. Semoga saya bisa lebih melayani pengunjung dalam hal memberikan informasi. Karena itulah hal utama yang dicari seseorang saat mengunjungi suatu situs. Do’akan saya ya…

Ilustrasi: pyersedandridge.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s