Semalam, saya mengadakan pertemuan -tapi bukan meeting yang terkesan serius walau terjemahan harfiahnya memang itu- dengan dua orang kolega saya di organisasi. Mereka semua pebisnis dengan latar-belakang berbeda. Dari cerita-cerita ngalor-ngidul, saya mendapatkan kesimpulan sederhana bahwa untuk sukses kita membutuhkan orang lain. Bahwasanya rezeki itu memang dari Tuhan, tapi pasti datangnya melalui tangan orang lain. Tak ada orang di dunia ini yang mendapatkan “hidangan dari langit”, bahkan para Nabi sekali pun.
Saya sudah tahu itu dari dulu. Tapi, terus-terang untuk melaksanakan saya perlu meningkatkan kapasitas diri. Selama 14 tahun, saya menggantungkan diri pada dua orang pasangan hidup saya yang mampu menutupi kelemahan saya tersebut. Akan tetapi, ternyata dua kali pula saya dikecewakan. Dulu, saya pernah punya geng berisi 6 orang sahabat. Akan tetapi, setelah mereka berkeluarga, saya mengalami kesulitan mengontak mereka. Malah, saya yang dimusuhi. Padahal, inisiatif selalu datang dari saya. Seperti saat Lebaran misalnya, sayalah yang malah mendatangi rumah-rumah mereka. Dan tidak satu kali pun mereka melakukan ‘kunjungan balasan’. Tapi saat saya tidak mengambil inisiatif, malah saya yang disalahkan. Bingung.
Karena itu, saya lantas ‘menyandarkan harapan’ pada pasangan hidup. Pasangan hidup ini adalah sahabat terbaik saya. Eh, ternyata saya salah lagi. Setelah sekian tahun bersama, ternyata saya gagal memenuhi ekspektasi mereka. Dan mereka pun “pindah ke lain hati”. Saya tak bisa menyalahkan, walau awalnya sulit menerima. Karena pasangan hidup itu juga memiliki “kontrak” seperti halnya pekerjaan. Bila salah satu dari dua pihak yang sepakat melakukan “perikatan” tidak puas, maka bisa membatalkan kontrak. Biasanya yang ditinggalkan adalah pihak yang dianggap “tidak memuaskan” dan biasanya dia akan sakit hati. Tapi yang meninggalkan pun sebenarnya merasa “sakit hati” karena selama sekian lama ia merasa “memberi banyak tapi tak mendapat balasan setimpal.”
Perjuangan hidup seseorang diukur bukan dari banyaknya dia jatuh, tapi dari upayanya bangkit lagi setelah jatuh. Dua orang yang saya temui tadi malam, keduanya punya ‘perjuangan hidup’ sendiri. Dan hanya dari pembicaraan antar-hati itulah saya bisa menyerap bahwasanya setiap orang “memanggul salib”-nya sendiri. Dan itulah kenyataan hidup yang harus dihadapi. Inilah dunia. Dan memang ia tak pernah seindah surga.