Seharusnya, saat ini saya sudah meminum aneka obat dari psikiater. Tapi, saya menolaknya. Kenapa? Karena saya takut pada efeknya yang merusak otak. Beberapa teman saya yang meminum obat serupa mengalami gangguan memori parah, walau seolah kondisinya pulih. Ada yang mengalami gangguan mood setelah minum obat lantas menjadi manic. Saya tidak mau begitu.
Kenapa saya perlu meminum obat? Karena saat ini saya sudah dalam kondisi ultra-depresi. Beberapa titik lagi, saya sudah masuk dalam kondisi schizophrenia. Inilah kondisi yang oleh awam secara gampangnya disebut “gila”. Padahal, menurut teori ilmu jiwa, semua orang itu pada dasarnya “gila”. Buku manual rujukan para psikiater dan psikolog sedunia yaitu Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang diterbitkan oleh the American Psychiatric Association (APA) memuat ribuan symptom penyakit kejiwaan. Cuma memang skala dan stadiumnya berbeda. Dalam taraf tertentu, justru kegilaan itu diperlukan sebagai benteng moral kita. Contohnya kita takut melihat darah, itu malah membentengi kita dari perbuatan tercela dan kriminal seperti membunuh.
Tidak ada orang di dunia yang 100 % bebas dari penyakit kejiwaan. Ini sebenarnya sama saja dengan penyakit fisik, tak ada orang yang 100 % bebas penyakit fisik. Cuma, ada yang terlihat nyata dan ada yang resident atau sekedar carrier.
Tapi bukan berarti saya tidak mencari pengobatan. Selain mendatangi psikiater dan psikolog, saya juga menggunakan “pengobatan alternatif”. Apa itu? Melalui agama. Justru ini yang membuat saya bertahan. Selain itu, banyak membaca buku yang terkait dengan hal ini.
Ada satu buku bagus yang saya temukan baru-baru ini. Judulnya adalah Menolak Kalah: Mengatasi Depresi, Menggapai Damai Di Hati (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014) karya Chua Seng Lee. Buku ini berisi pengalaman para penderita depresi yang berhasil selamat. Para survivor ini berasal dari berbagai latar belakang. Kesamaannya adalah mereka semua ditolong oleh seorang psikiater yang mendirikan semacam “crisis centre” di Singapura. Karena itulah semua orang yang menceritakan pengalamannya adalah warga negara “negeri singa” itu.
Dari buku itu, saya mendapatkan inspirasi mengenai banyak hal. Sebenarnya, kondisi depresi mengerikan bagi yang tahu. Karena ujungnya cuma ada tiga: kematian, kegilaan atau melewatinya tapi tidak pernah kembali seperti sediakala. Ini ibarat anggota tubuh yang sudah teramputasi, tidak akan bisa kembali. Jiwa yang depresi seperti horcrux-nya Voldemort –meminjam istilah Harry Potter– yang tercabik-cabik.
Dan di Indonesia, celakanya pertolongan bagi penderita depresi sangat minim. Tak heran angka bunuh diri meningkat, belum lagi schizophrenia yang tidak dikonsultasikan kepada ahlinya. Karena itu, saya berinisiatif akan meluncurkan sebuah situs baru yang bertujuan untuk membantu sesama penderita depresi. Situs ini nantinya juga akan memberikan layanan pertolongan gawat-darurat 24 jam bagi yang hendak bunuh diri, juga konsultasi ahli secara nyata atau tatap-muka. Karena sebenarnya yang dibutuhkan oleh mereka cuma teman dan pendamping saja. Insya ALLAH. Do’akan saya ya…
Foto: www.theprovince.com