Saya sedang belajar hal baru: mundur. Bukan dalam arti menyerah kalah, melainkan justru dalam konteks tidak menonjolkan diri. Selama ini, sebenarnya saya malah melawan kecenderungan kepribadian saya yang introvert. Sewaktu kecil, saya malah hampir tidak pernah menonjolkan diri, bahkan di saat saya justru berhak atau malah wajib melakukannya. Sebagai contoh, sewaktu kelas 4 SD saya juara umum akademis se-kabupaten dan akan diberikan penghargaan langsung oleh Pak Bupati, saya malah kabur dan ngumpet.
Barulah saat SMP saya mulai memberanikan diri untuk maju. Ini terutama ditempa oleh pengalaman organisasi. Maju di sini dalam arti menjadi pemimpin atau teladan. Namun, saya melihat untuk pertama kalinya ketidakadilan dalam hidup justru saat ini. Ada anak yang difavoritkan, dan saya tidak. Ada yang dianak-emaskan, dan saya tidak. Padahal, kompetensi dan kualifikasi saya tidak kalah. Dan ini terus berlanjut hingga SMA. Misalnya dalam pemilihan ketua suatu organisasi yang dilakukan oleh senior, saya pasti tidak dipilih karena tidak mau menjilat. Sebaliknya, kalau melalui mekanisme pemungutan suara oleh anggota, saya hampir selalu menang. Kejadian ini terjadi berulang kali. Akhirnya, saya menyadari pola ini sewaktu kuliah.
Untuk meraih suatu posisi, seringkali kita harus rela sedikit “ngebabu” (baca tulisan di portal saya hari ini). Ini bukan berarti menjilat, tapi membantu orang lain terutama atasan atau senior. Apa bedanya? Sederhana. Menjilat itu kita selalu seperti “anjing piaraan” yang berlaku “asal bapak/ibu senang”. Semua selalu yang baik-baik. Bahkan kalau ada hal jelek pun ditutup-tutupi. Namun membantu berbeda. Kita menyediakan diri sebagai semacam asisten rumah tangga bagi yang bersangkutan. Imbalannya seringkali bukan material secara langsung, tapi kepercayaan. Dan ini mahal harganya.
Saya juga belajar, tidak semua orang nyaman dengan positioning seseorang yang selalu memimpin di depan. Seringkali, kita harus “menghilang” agar orang tidak terlalu tertekan dengan keberadaan kita. Saya ini berkepribadian mengerikan: koleris-dominan-star-achiever. Sehingga seringkali target atau pekerjaan yang saya lakukan membuat orang lain terbebani. Bukan kenapa-kenapa, mereka seringkali keteteran mengejar lari saya. Apalagi kalau itu di sebuah organisasi non-profit. Bayangkan saja, sewaktu di UI, saya pernah mengerjakan satu proyek besar dari Rektor UI sendirian. Padahal, seharusnya yang bekerja 30 orang. Tapi, ke-30 orang itu tetap dicantumkan namanya.
Belajar mundur juga berarti saya harus memperhatikan kembali jejak langkah dalam kehidupan yang saya buat. Semacam “retreat” kalau dalam tradisi Kristiani. Namun, ini tidak cuma dalam waktu tertentu dengan menyepi ke suatu tempat, melainkan justru dijalani dalam kehidupan sehari-hari.
Model “Superman” seperti saya memang harus belajar mundur. Barangkali, ini sudah saatnya saya berubah jadi “Batman”. Dimana ia punya identitas ganda yang tak diketahui siapa pun. Untuk itulah saya “belajar mundur”.
Foto: www.michelleparsons.com