Kedua, kenapa Beliau yang mulia malah berkata “ummati” tiga kali di saat kematiannya? Bisa saja ada kata atau kalimat lain. Nah, untuk yang kedua inilah saya akan bahas kali ini.
Para ustadz sering membahas ini. Jawaban sederhananya adalah: beliau begitu memikirkan umatnya. Akan seperti apa sepeninggal beliau. Sedangkan di masa beliau masih hidup saja begitu banyak cobaan dan ujian yang menimpa.
Benar saja, seperti diutarakan beliau dalam hadits, tak lama setelah beliau wafat terjadilah Tragedi Karbala. Di saat itulah Muawiyah bin Abi Sufyan -yang mengklaim diri sebagai Khalifah pasca syahidnya Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib r.a.- memerintahkan memerangi ahlul bait. Kedua cucu Nabi yang mulia Hasan r.a. dan Husain r.a. syahid dibunuh di Padang Karbala. Kejadian ini faktual dan historis, namun seringkali dilupakan oleh masyarakat muslim yang mayoritas Sunni hanya karena dianggap justifikasi untuk Syi’ah yang lebih intens memperingatinya.
Kondisi tidak stabil ini sebenarnya terus berlanjut meski kemudian kekhalifahan Islam menguasai dunia selama 14 abad (dihitung sejak lahirnya Nabi SAW pada abad ke-6 hingga runtuhnya kekhalifahan terakhir Turki Utsmaniyah pada abad ke-20, meski Renaissance terjadi pada abad ke-18). Inilah masa di mana Eropa yang yudeo-kristiani mengalami “abad kegelapan”. Sementara Islam justru mengalami “abad keemasan”.
Nabi sendiri mensinyalir dalam haditsnya bahwa umatnya akan terpecah-belah menjadi 27 golongan, dan hanya 1 yang selamat masuk surga. Kita sekarang mungkin bingung, golongan itu yang mana saja. Karena saat ini pemahaman Islam hanya terbagi pada dua golongan besar: sunni dan syi’ah. Well, kalau begitu berarti memang pelajaran sejarah Islam amat sangat kurang diajarkan kepada umat Nabi SAW di Indonesia. Kembali menengok sejarah dunia, di masa kejayaan kekhalifahan Islam di barat dan di timur itulah munculnya begitu banyak golongan tadi. Kajian agama menyebutnya “aliran pemikiran” yang bahasa Arab-nya mazhab. Hanya saja, saya menghindari itu karena nanti rancu dengan mazhab fiqh utama yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Hambali dan Syafi’i. Mungkin bahasa Inggris-nya yaitu “school” lebih tepat dipakai. Tapi baiklah saya tetap menyebutnya “aliran pemikiran” saja.
Di masa abad pertengahan itulah Islam berkembang menjadi begitu banyak “aliran pemikiran”. Dan ini bukan sekedar “wacana” di ruang akademis belaka, tapi masuk ke ranah politik. Khalifah dan sultan biasanya memiliki “aliran pemikiran” tertentu. Dan celakanya, mereka yang tidak sependapat bisa dihukum, baik dipenjara bahkan dihukum mati.
Sekarang, kalau pun mau dibilang “aliran pemikiran” baru, ada Ahmadiyah. Juga yang sinkretis seperti Sikh, Kaballah dan Baha’isme. Saya tidak ingin membahas itu di sini, karena fokus kita adalah soal Nabi dan umatnya.
Dari visi masa depan itulah Nabi SAW amat mengkuatirkan kondisi umatnya. Maka, tak heran saat wafatnya Nabi SAW malah berujar “umatku” hingga tiga kali. Karena beliau begitu sayangnya pada umatnya, sehingga sangat ingin semua umatnya selamat. Itulah tanda beliau adalah seorang yang paling peduli pada orang lain, bahkan kepada mereka yang seringkali tidak mempedulikannya. Tidak hanya di dunia, tapi juga di akherat. Maka, bila Yesus dipercaya mati di tiang salib oleh umat Nasrani/Kristiani untuk menebus dosa manusia, Nabi Muhammad SAW justru lahir dan hadir untuk memberi terang dan rahmat bagi alam. Karena Nabi/Rasul Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT untuk bangsa manusia, jin, hewan dan tumbuhan/tanaman sekaligus, satu kondisi yang hanya pernah dinisbahkan sebelumnya kepada Nabi/Rasul Sulaiman a.s. Namun, kemuliaan Nabi/Rasul Sulaiman a.s. tidaklah setinggi Nabi/Rasul Muhammad SAW yang disejajarkan oleh ALLAH SWT sendiri dengan DIRINYA dalam syahadat dan azan.
Dan harus diingat, salah satu kalimat terakhir yang dipercaya umat Kristiani/Nasrani diucapkan Yesus adalah “eli, eli, lama sabakhtani” yang artinya “Tuhanku, Tuhanku, kenapa Engkau tinggalkan aku?” Bila ini dipercaya, nyata benar bahwa Yesus bukanlah Tuhan karena ia masih memanggil-manggil Tuhannya. Sedangkan Nabi Muhammad SAW justru memanggil-manggil umatnya, sebagai tanda kasih-sayang dan cintanya. Juga tanda bahwa Ia tak lagi butuh keselamatan dengan memanggil-manggil Tuhan, melainkan justru ingin agar keselamatan dan rahmat yang telah diterimanya dari Tuhan dicurahkan juga untuk umat.
Wallahu ‘alam bishawab. Kebenaran hanya milik ALLAH SWT semata.