Anda ingin jadi selebriti? Selain ketenaran dan uang banyak, tahukah ada harga yang harus dibayar? Ya, hilangnya privasi dan perasaan terus dipantau orang lain. Pendeknya, orang kepo pada hidup kita. Kalau sudah terkenal banget, sampai-sampai di waktu ada isyu kru infotainment memerlukan diri camping di depan rumah. Di sini memang tak ada paparazzi, tapi ditegur orang dan dimintai foto atau tanda tangan di tempat umum sudah biasa.
Saya sendiri mulai merasakan dampaknya. Meski dari segi penghasilan belum banyak berubah, tapi di bidang tertentu rupanya saya ‘mulai dianggap’. Salah satu indikasinya adalah peningkatan follower di account Twitter saya. Tentu yang menggembirakan dan membanggakan, mereka bukan account orang kebanyakan. Beberapa figur publik dan tokoh di bidangnya, ada pula yang lembaga pemerintah, LSM, institusi dan perusahaan. Bahkan juga beberapa bule yang ternyata pakar pemasaran dan pencitraan. Apa yang sempat membuat saya kaget, sejak 25 November 2013, account S.B. Yudhoyono juga mem-follow saya. Tapi… ada tapinya. Itu bukan account resminya, melainkan cuma KW-1 alias unofficial. Tapi, dari penampakan amat sangat mirip kan ? (lihat foto ilustrasi). Cuitan saya juga seringkali difavoritkan atau di-RT (ReTweet) oleh beberapa account. Lumayan bikin senang sih. Hehe.
Saya sebenarnya tak ingin terkenal atau jadi selebriti, apalagi sekedar “seleb Twitt”. Tapi saya akui, saya butuh penghargaan dan pengakuan. Itu terutama karena di lingkungan inner circle alias dunia sehari-hari alias lebenswelt saya, hal itu amat sangat sulit bahkan nyaris mustahil didapat. Dan, seringkali saya mencari substitusi dari tempat lain.
Tapi efek langsung dari semua itu adalah perasaan dipantau. Saya jadi lebih berhati-hati dalam menulis, baik di blog ini maupun di Twitter, apalagi di FanPage FaceBook. Saya mencoba tidak lagi menggunakan social media untuk ‘curhat’ pribadi. Kecuali, beberapa kali saya mengingatkan mantan pasangan hidup saya YPP untuk menunaikan sisa janjinya kepada saya. Dan itu saya lakukan tengah malam di waktu sekiranya orang tak lagi terganggu. Kalau ada yang membaca selain beliau, berarti itu ‘collateral effect‘ saja. Demikian pula di blog, meski sesekali masih ada “curcol alert“, saya berharap ada ‘pelajaran hidup’ yang bisa diambil oleh orang lain sebagaimana saya juga mengambil hikmahnya.
Saya juga lebih hati-hati memilih diksi dalam kalimat tulisan. Karena semua itu terekam baik justru di sistem dan sulit dihapus. Seperti halnya saat Palmer and Associate selaku pengacara SBY melayangkan somasi pada Desember 2013 lalu kepada Sri Mulyono. Meski merupakan aktivis dan pengurus PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) yang merupakan loyalis Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang dipecat, ia disomasi dalam posisinya sebagai blogger. Sri Mulyono dua kali disomasi atas dua tulisan berbeda. Somasi pertama pada 14 Desember 2013 atas tulisannya berjudul “Anas: Kejarlah Daku Kau Terungkap”, dan somasi kedua pada 20 Desember 2013 atas tulisan berjudul “Dari Jeddah, SBY ‘Memerintahkan’ KPK supaya menetapkan status hukum Anas ‘tersangka'”. Kedua tulisan itu dimuat di blog publik Kompasiana.com. Itu menunjukkan kalau tulisan di dunia maya bisa berimplikasi hukum. Tentu saya tak mau direpotkan urusan semacam itu.
Semua memang ada harganya. Dan insya ALLAH saya siap membayarnya. Semoga ALLAH menguatkan. La hawla wa la quwwata illa billah.