Menyebarkan Ilmu

Beberapa waktu lalu. saya sempat menuliskan tentang saya diminta mengisi kolom tetap di sebuah majalah Islam berbahasa Indonesia terbitan luar negeri (baca kembali tulisan berjudul “Menjadi Matahari”). Majalah itu bernama “Cahayaqu”, merupakan sebuah majalah bernafaskan Islam yang diterbitkan di Hongkong. Majalah ini berbahasa Indonesia karena segmentasinya adalah TKI/BMI yang bekerja di sana.

Sebenarnya saya sempat ragu karena merasa ilmu agama saya belum mumpuni. Tapi dengan melawan karakter perfeksionis yang saya miliki, dengan mengucapkan basmalah saya memberanikan diri mengiyakan permintaan itu. Dan meski majalah versi tercetaknya belum sampai ke Indonesia, versi elektroniknya yang merupakan proof reading percetakan sudah bisa diklik tautannya. Dan hasilnya, sebagaimana terlihat di foto ilustrasi.

Secara pribadi, meski bersyukur telah dipilih oleh redaksi untuk menjadi kolumnis, ini juga beban mental bagi saya. Apa sebabnya? Saya tidak pernah merasa sebagai  alim-ulama atau ustadz, apalagi ahli agama. Kalau Anda kenal saya langsung di kehidupan nyata, dalam keseharian saya hampir tak pernah mengajak orang untuk shalat atau puasa. Kenapa? Karena saya merasa masih dalam tataran hancur-hancuran ibadahnya. Demikian pula saya usahakan tidak mengumbar nasehat agama di forum umum seperti di group. Satu kali saya berbuat kesalahan itu dan akibatnya saya malah terlibat “debat kusir” dengan mereka yang sebenarnya pengetahuan dan pengalaman beragamanya jauh di bawah saya. Akibatnya, saya malah jadi seperti ‘orang tolol’. Seperti mengajari kucing supaya bisa terbang rasanya.

Saat menulis artikel untuk majalah tersebut pun, Pemimpin Redaksinya mengingatkan saya agar menyesuaikan gaya bahasa karena pembacanya adalah TKI/BMI yang mayoritas pendidikannya tidak tinggi. Insya ALLAH saya pun berhati-hati karena ini majalah Islami. Saya ‘terpaksa’ memperbaiki segala hal dalam hidup karena mau-tak-mau kini saya makin “menjadi terang” bagi orang lain. Apalagi di jajaran pembina majalah tersebut ada para guru yang juga jadi panutan saya, antara lain Ust. Yusuf Mansyur. Berpikir positif, semoga ini makin mendekatkan saya pada cita-cita masa kecil saya: menjadi seorang “guru ngaji“. Lagipula, ini adalah salah satu “investasi akherat” saya dalam bentuk “menyebarkan ilmu”. Semoga ALLAH SWT menjaga Bhayu agar mampu menjalankan amanah agama ini. aamiin. 

Keterangan akronim:

  • TKI : Tenaga Kerja Indonesia
  • BMI : Buruh Migran Indonesia

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s