Sudah sepekan Jakarta dan beberapa kota lain di pesisir pantai Utara Jawa terkena banjir. Sebenarnya, ini ‘belum ada apa-apanya’ dibandingkan kejadian erupsi Gunung Sinabung di Karo, Sumatra Utara yang sudah berlangsung sejak 15 September 2013 dan banjir bandang di Manado, Sulawesi Utara pada hari Rabu (15/1/2014) lalu. Hanya saja, karena berada di ibukota negara maka expose media terutama televisi begitu luas. Sampai-sampai kerabat yang tinggal di daerah mengira seluruh Jakarta dari ujung ke ujung kerendem semua. Padahal warga yang tinggal di Jakarta tahu, kenyataannya tidak begitu.
Satu yang kerap dilupakan orang saat berkomentar adalah bersikap adil. Bagi saya, sebenarnya pemerintah provinsi DKI Jakarta sudah berbuat banyak. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa proyek pembangunan dan perbaikan Kanal Banjir Barat dan Timur sudah hampir selesai. Ini termasuk revitaliasi berbagai lokasi penampungan air, antara lain Situ Gintung yang dulu sempat jebol tanggulnya. Itu dilakukan semenjak masa Gubernur Sutiyoso hingga Gubernur Fauzi Bowo. Sementara Gubernur Joko Widodo berhasil melakukan normalisasi waduk Pluit dan sedang dalam proses melakukan beberapa hal lain. Salah satu bukti kasat mata yang seharusnya bisa dilhat orang yang adil dan ‘tidak buta’ adalah tidak banjirnya kawasan pusat bisnis pemerintahan ibukota yang terletak di sepanjang jalan Sudirman-M.H. Thamrin. Demikian pula Istana Negara/Merdeka tidak terkena dampak banjir tahun ini. Itu berarti kemajuan. Prof. Sarlito Wirawan D. Sarwono dalam kolomnya di harian Koran Sindo hari ini pun sependapat dengan saya. (Bukan berarti saya pernah berkomunikasi dengan beliau, tapi samanya pendapat itu menunjukkan kalau ‘orang mikir’ itu tidak asal mbacot main menyalahkan pemerintah begitu saja.).
Pemerintah beserta lembaga kemanusiaan sebenarnya sudah sangat bagus menangani bencana. Jarang yang tahu bahwa kini ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mengkoordinasikan segala potensi negara saat terjadi bencana. Di tingkat daerah juga dalam proses pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang nantinya akan mengendalikan Pusat Komando Pengendalian Operasi (Puskodalops) yang memiliki Emergency Operation Center for Disaster Management. Semua ini beroperasi 24 jam meski tidak ada bencana, dan akan berfungsi penuh di saat ada bencana sebagai penghubung (hub) dari semua organ yang terlibat dalam penanggulangan bencana. Semua itu merupakan implementasi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Artinya, bencana itu serius. Tidak main-main karena menyangkut nyawa manusia dan kelestarian alam.
Eh, konyolnya, masih ada saja orang yang melakukan “wisata bencana”. Ini artinya, mereka bukanlah warga yang terkena bencana, dan tidak memiliki kepentingan termasuk tugas di lokasi bencana (seperti petugas penanggulangan bencana atau jurnalis), tapi malah datang ke situs bencana sekedar untuk melihat-lihat, jalan-jalan dan foto-foto. Sayangnya, ini termasuk pula pejabat pemerintah dan aparat keamanan yang masih merasa kurang eksis. Sebutlah seperti foto yang saya pakai sebagai ilustrasi ini, adalah foto aparat kepolisian bersama Bupati Karo Kena Ukur Surbakti saat meninjau lokasi pengungsian Gunung Sinabung. Lebih konyol, kejadian bencana itu terjadi di wilayah kerja mereka.
Saya juga menyayangkan para “pahlawan kesiangan”, mereka yang seolah mulia dengan menyumbangkan sesuatu langsung ke lokasi bencana, tapi sebenarnya sama saja melakukan “wisata bencana”. Di social media bertebaran foto-foto mereka yang seperti ini. Cuma menyumbang beberapa kardus makanan/minuman kemasan, tapi ngotot menyerahkan sendiri ke kamp pengungsi. Dan tentu saja, tak lupa foto-foto narsis sebagai bukti eksis. Tidakkah terpikirkan tindakan itu menyakiti hati para korban? Bayangkan rumah Anda kebakaran –naudzubillah min dzalik– dan orang-orang malah sibuk foto-foto di depan puing-puingnya. Sebel tho? Mungkin Anda juga pernah melihat foto para serdadu yang dengan bangga berpose di depan mayat musuh mereka bukan? Nah, foto-foto narsis di lokasi “wisata bencana” persis sama derajatnya dengan itu. Sekali lagi, naudzubillah min dzalik.
Padahal, kami seluruh petugas yang bekerja sesuai panggilan tugas dan dedikasi termasuk para relawan, malah tidak sempat berfoto-foto ria. Saya jadi ingat kembali saat tiap kali melakukan aktivitas semacam ini -termasuk saat reformasi 1998 dan erupsi Merapi 1994- kami yang termasuk pimpinan atau aktivis pemegang peran, malah seringkali mendapatkan foto-foto diri kami dari orang lain atau jurnalis. Itu semata karena aktivitas yang begitu padatnya sehingga nggak mikirin dan boro-boro sempat foto-foto narsis segala. Semoga ALLAH melindungi saya dan kita semua yang beriman dari segala hal tercela, termasuk membanggakan segala amal perbuatan baik. aamiin.
Foto: tribunnews.com