Tadi, saya sempat pergi ke sebuah toko buku. Membeli beberapa buku yang merupakan agenda tetap setiap bulannya. Semula, saya hendak membeli pula beberapa buku agama, tapi akhirnya saya hanya membeli buku terkait kompetensi pekerjaan dan pengembangan diri saja. Kenapa? Karena saya pusing.
Lho kok bisa? Buku agama saya, Islam, kebanyakan bicara soal hukuman dan ancaman. Persis seperti yang dilakukan oleh gereja di abad pertengahan. Di masa yang disebut “abad kegelapan” oleh Eropa, justru Islam tampil sebagai penguasa dunia selama 14 abad. Di saat itulah Islam justru menawarkan harapan. Pasca Renaissance, justru Eropa dengan tradisi Yudeo-Kristiani-nya yang mengadopsi cara ini. Malah Islam di akhir abad ke-20 mundur kembali ke masa pengancaman akan hukuman.
Dalam motivasi, ada dua cara bipolar memang untuk mendapatkan kinerja terbaik. Cara pertama adalah dengan membangkitkan semangat dan bersikap positif. Cara kedua justru sebaliknya. Ini sangat tergantung pada tipe kepribadian dan budaya terkait. Orang Jepang misalnya, karena negaranya pernah mengalami kehancuran akibat perang, dan sangat rentan bencana alam, maka ancaman dan hukuman sangat efektif. Kalau ikut pelatihan motivasi di Jepang, pesertanya akan dibuat “minta ampun” agar tidak diberikan hukuman. Mirip-mirip dengan pelatihan ala militer.
Sementara, saya sendiri bosan dengan metode itu. Dari SMP, saya sudah ikut pelatihan semacam ini. Pelatihnya pun betulan tentara dan polisi. Jadi, kalau sekarang saya mau dibentak-bentak atau disuruh-suruh seperti apa pun di pelatihan, saya cuma tersenyum dalam hati. Seringkali saya melawan perintah atau permintaan trainer untuk melakukan sesuatu. Udah lewat, batin saya. Tentu, saya tak pernah lagi ikut pelatihan semacam itu sejak terakhir di masa kuliah. Dan itulah salah satu sebab saya amat sangat sulit dihipnotis, bahkan bisa dikata tak mempan. Demikian pula indoktrinasi apa pun kini pasti mental. Karena di saya sudah ada prinsip mati yang tak bisa dilawan. Di luar saya seorang Indonesia, di dalam jiwa saya Muslim. Titik.
Maka, saat seorang trainer mempromosikan efektivitas pelatihan di camp militer, saya lagi-lagi tersenyum. Ya, itu bagi yang belum pernah. Masalahnya, manusia itu adaptif. Ia perlu kejutan. Bila sudah pernah mengalami, tentu tak lagi terkejut. Karena itulah perlunya latihan terus-menerus.
Demikian pula dengan agama. Ancaman akan hukuman mungkin efektif buat sebagian orang yang memang takut otoritas. Tapi, bagi orang seperti saya, tidak. Masalahnya, saya terlalu terbiasa pada hal-hal semacam itu. Justru, menurut saya, cara paling efektif untuk menumbuhkan ketaatan beragama justru dengan menjanjikan surga, bukan neraka. Dalam konteks ini, tentu surga adalah harapan akan perbaikan di masa depan, bukan kehancuran atau kegagalan.
Ilustrasi: http://far3e.com